✧.* 105.


Mungkin, sudah lebih dari tiga jam sejak Shenna menemani Jidan di tempat ramai ini. Banyak hal yang Shenna sudah lakukan disini, ada beberapa saat juga Shenna menemani Jidan berkeliling untuk menyapa para kolega dari papinya.

Sejujurnya Shenna sedikit lelah, Shenna jarang sekali memakai sepatu high heels selama ini, ditambah lagi yang Ia pakai memiliki tinggi 7 cm yang berarti, itu termasuk kategori high heels yang tinggi.

Shenna merasa sedikit pusing, namun sedari tadi ia berusaha untuk menahannya. Ia tidak ingin mengganggu Jidan yang sedang berbincang dengan beberapa orang dewasa yang ada di tempat itu.

Namun, semakin lama rasa pusingnya semakin tidak mendukungnya untuk bertahan. Shenna berjalan perlahan sambil menahan sakit dibagian kakinya yang sedikit lecet akibat sepatu yang ia pakai, dan menghampiri Jidan.

Jidan awalnya tak sadar bahwa Shenna sedang menghampirinya, sampai tangannya tiba-tiba saja digenggam oleh Shenna.

“Ji.” panggil Shenna.

Jidan menoleh, Ia terkejut, bukan karena kehadiran Shenna, tetapi karena wajah Shenna yang saat ini terlihat sangat pucat. Tangannya reflek menangkup kedua pipi Shenna dan mengusapnya lembut.

“Na, lo pucet banget.”

Shenna terdiam menatap Jidan sayu, membiarkan kedua tangan Jidan menempel di pipinya.

“Ayo duduk dulu.” ucap Jidan sambil menggenggam tangan Shenna, menuntunnya menuju salah satu kursi yang ada disana.

Shenna sedikit merintih saat berjalan, membuat Jidan sadar bahwa ada sesuatu di kaki Shenna. Setelah menuntun Shenna untuk duduk, Jidan berlutut di depan Shenna, “Sini, gua liat dulu, kaki lo kenapa?”

Shenna yang sudah tidak memiliki banyak tenaga hanya menuruti Jidan, membiarkan laki-laki tampan itu membuka sepatunya, dan memperlihatkan bagian belakang dari kakinya sudah lecet.

“Ya ampun, berdarah, Na. Tunggu disini ya, sebentar.”

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Jidan langsung berlari keluar aula hotel tersebut. Ia menuju ke depan lobby dari hotel tersebut, disana merupakan tempat terparkirnya mobil Jidan di area parkir VIP. Dengan cepat ia mengambil adidas slides miliknya yang memang selalu ada di dalam mobilnya. Tak lupa ia mengambil dua buah hansaplast, dan dengan segera ia kembali menuju aula.

Shenna masih duduk terdiam di ruangan besar itu, ia tidak tahu kemana perginya Jidan sekarang sampai akhirnya ia melihat Jidan kembali dengan sebuah sandal bermerk adidas di tangan kanannya.

Jidan kembali menghampiri Shenna, dan sedikit berlutut di depan gadis tersebut. Ia memakaikan hansaplast yang sudah ia bawa ke kedua kaki Shenna, lalu memakaikan slides yang sudah ia bawa juga.

“Pake ini dulu, ya. Nanti di apart gua obatin lagi kaki lo.” Jidan sedikit mendongak, mengambil salah satu tangan Shenna dan mengusapnya dengan lembut. Ia tidak tega melihat gadis di depannya itu terlihat sangat lelah.

Entah inisiatif dari mana, Jidan berbalik membelakangi Shenna dan membuat Shenna terbingung.

“Ngapain?”

“Naik, Ayo pulang. Gua gendong. Jangan bantah, gua tau lo udah gak banyak tenaga.”

Shenna menghela nafasnya, memang benar, jika ia harus berjalan lagi untuk turun menuju mobil mereka, sepertinya Shenna sudah tidak mampu lagi.

Pelan-pelan Shenna naik ke punggung Jidan, dan mengalungkan kedua tangannya di leher Jidan.

Jidan memegang kedua kaki dari gadis itu, dan menggendong Shenna meninggalkan aula tersebut.

Satu hal yang mereka tidak sadari, sejak tadi sangat banyak pasang mata yang memperhatikan aktivitas mereka. Termasuk kedua orang tua Jidan, dan juga Ellie.

“Na, maaf ya.”