#139 Baikan?


Untuk pertama kalinya seorang Kayra Anggia Jocelyn si siswi berprestasi sekolah harus berurusan dengan guru bk yang kali ini bukan karena hal baik, namun karena ia terjerat masalah keributan.

Sebenarnya sejak awal Kayra sama sekali tidak berniat untuk membuat keributan. Ia mencari pengirim menfess tersebut juga karena ia ingin menegur dan mengingatkan bahwa tidak seharusnya mengirimkan ujaran kebencian seperti itu kepada orang lain, apalagi sampai membawa masalah keluarga orang lain.

Beruntung masalah ini tidak terlalu besar, Kayra diberi keringanan karena sudah menjelaskan dengan jujur apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga Kayra hanya mendapat teguran, dan keduanya sudah saling meminta maaf satu sama lain.

Saat ini Kayra sedang duduk di salah satu kursi yang letaknya tak jauh dari ruang bk, sebenarnya saat ini sudah memasuki jam pelajaran terakhir, namun Kayra masih enggan untuk masuk ke kelas. Entahlah, rasanya energi Kayra masih belum kembali terkumpul untuk mengikuti pelajaran lagi.

Satu lagi yang membuat Kayra lelah, pesan yang ia dapat dari Javier. Isi pikiran Kayra sekarang memikirkan bagaimana cara agar ia tidak bertemu dengan Javier, apakah ia harus masuk kelas saja? Atau ia harus kabur ke kantin. Kayra belum siap jika harus menerima ocehan dari Javier lagi, apalagi masalah yang baru saja ia alami sebenarnya tidak ada urusannya sama sekali dengannya.

“Mau kemana? Kabur dari gua?”

Baru saja Kayra berniat untuk beranjak dari posisinya dan pergi dari sana, niatnya sudah diketahui oleh laki-laki yang baru saja menyapanya itu.

Kayra berbalik, menampilkan senyum anehnya ke arah Javier yang berjarak 2 meter dengannya. Sedikit canggung, apalagi beberapa minggu terakhir Kayra dan Javier tak akur.

Yang Kayra lihat saat ini membuatnya sedikit bingung. Satu, ini masih jam pelajaran, yang seharusnya Javier ada di kelas. Dua, tangan kiri Javier membawa kotak obat? Untuk apa?

Belum sempat Kayra bertanya ke Javier. Javier sudah lebih dulu mendekat ke arah Kayra.

Satu hal yang sangat tak terduga, Javier menggenggam tangan Kayra dan menariknya agar beranjak dari tempat itu.

Kayra terdiam, masih berusaha memproses apa yang saat ini sedang dilakukan oleh Javier. Ia tidak menerima, tapi juga tidak menolak. Tubuhnya mengikuti Javier yang masih menggenggamnya, entah kemana Javier akan membawanya.

“Eh! Mau kemana? Javier, ini masih jam pelajaran, ayo balik kelas aja. Nanti gue kena teguran lagi!” omel Kayra setelah berusaha menyadari dirinya.

“Gak usah bawel. Gua udah izin ke guru yang lagi ngajar di kelas lo sebelum nyamperin lo tadi.”

“Hah? Izin apa?”

Javier tidak menjawab lagi, ia masih melanjutkan langkah kakinya dengan tangannya masih menggenggam tangan kecil gadis yang ada di belakangnya saat ini.

Rooftop, ternyata tempat ini yang menjadi tujuan Javier. Tanpa mengucapkan apapun, Javier mengambil kursi yang ada di tempat itu, satu untuknya, satu lagi untuk Kayra.

Melihat Javier yang tak berucap membuat Kayra pun masih enggan untuk mengucapkan satu katapun, ia tak menolak lagi. Ia memilih menuruti apa yang Javier lakukan padanya.

Contohnya saat ini, Kayra duduk di kursi yang sudah diambil untuknya dan Javier duduk tepat menghadap ke arahnya.

Dalam diamnya, Javier mengambil kotak obat yang sudah ia bawa, membukanya dan mengambil beberapa yang ia perlukan.

“Siniin tangan lo.”

“Hah? Apa?”

Javier menghela nafasnya, dengan lembut ia mengambil salah satu tangan Kayra. Memperhatikan beberapa goresan luka yang ada disana, ia tebak pasti saat ribut tadi Kayra sempat terkena cakaran, apalagi tadi ia melihat ada adegan saling menjambak satu sama lain.

Perempuan kalau sudah ribut ternyata serem juga ya.

Setelah memperhatikan lengan Kayra, Javier memilih untuk mengobati tangan Kayra.

“Aduh!”

“Maaf, sakit banget? Tahan dulu, ya. Ini ga banyak kok.”

Kayra membeku.

Javier, dengan suara lembutnya berusaha menenangi Kayra. Dengan sangat hati-hati mengobati tangan Kayra, dan dengan telatennya memasang beberapa hansaplast di tangan Kayra.

Sepertinya saat ini sedang terjadi keajaiban dunia, deh.

Kayra yang melihat sisi terbalik dari seorang Javier ini bahkan sampai tak sanggup harus merespon seperti apa. Kayra yang biasanya banyak berbicara saat bersama Javier, kali ini memilih diam.


Sudah sekitar 10 menit setelah kegiatan Javier mengobati tangan Kayra selesai. Sudah sekitar 10 menit pula keduanya sibuk, ia sibuk dengan diamnya masing-masing, dan sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Kayra asik memperhatikan padatnya gedung-gedung dari rooftop sekolahnya, sesekali menutup mata sambil menikmati hembusan angin di siang hari.

Sedangkan Javier, entah ia sadar atau tidak, sedari tadi pandangannya mengarah ke Kayra. Memperhatikan dengan dalam gadis di sampingnya dengan senyum tipis yang sedari tadi tak luntur.

Namun itu tidak bertahan lama karena tiba-tiba saja Kayra menoleh ke arahnya, membuat Javier dengan sigap membuang pandangannya ke arah lain, lalu kembali menoleh ke arah Kayra.

“Kenapa liatin gue kayak gitu?”

“Javi, lo kalo mau marahin gue nanti aja deh ya.”

“Gue udah capek banget hari ini. Tadi tuh orang ngeselin banget tiba-tiba jambak gue. Ditambah di ruang bk gue ditegur abis-abisan. Kalo harus mendengar omelan lo lagi, gue udah ga sanggup.”

“Gue tau kok ini sebenernya ga ada sangkut pautnya sama gue, bahkan ini juga bukan urusan gue. Tapi gue ga bisa tahan waktu dia seenaknya nyebut dan bawa-bawa masalah keluarga. Menurut gue itu ga etis aja.”

Kalau Kayra pikir Javier akan memarahinya hari ini, atau bahkan memberikan tatapan menyeramkan untuknya, semuanya salah. Saat kayra menoleh ke arah Javier, yang ia dapat hanya tatapan hangat dan senyum tipis Javier yang ditujukan kepadanya.

“Sini hadap ke gua, Ra.”

Merasa tak ada jawaban, Javier menghadapkan dirinya ke Kayra, lalu mengubah posisi duduk Kayra agar duduk menghadap ke arahnya juga.

Kayra menatap lelaki di depannya dengan bingung, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mendadak tidak beraturan. Javier gila! Sepertinya hari ini ia berniat membuat Kayra pingsan di tempat.

Javier memajukan tubuhnya, mengusap pelan tangan Kayra sambil memberikan senyum yang lebih berkembang dari sebelumnya, “Makasih, ya.”

“Buat?” tanya Kayra yang berusaha tenang.

“Dan maaf. Maaf buat semuanya. Maaf waktu itu gua ngebentak lo, padahal gua tau ga seharusnya gua luapin emosi gua ke lo. Maaf juga waktu itu gua ninggalin lo disana, padahal gua tau kalau gua punya tanggung jawab buat nganterin lo pulang ke rumah. Maaf juga akhir akhir ini gua cuekin lo. Maaf buat sifat kekanak-kanakan gua.”

Javier menarik nafasnya lagi, “Maaf buat yang kali ini, lo jadi sampe harus berurusan sama ruang bk.”

Ucapan panjang dari Javier, satu hal ini lagi yang Kayra tidak pernah dapat sebelumnya dari Javier. Kayra memperhatikan dengan jelas, bagaimana ucapan tulus dan wajah Javier yang seperti merasa bersalah.

Kayra tersenyum tipis lalu mengangguk, “Dimaafin. Ini kemauan gue sendiri juga, kok. Jadi ga sepenuhnya salah lo. Buat waktu itu, gue juga minta maaf, dan gue paham kenapa lo bisa marah. It’s okay, Jav.”

“Gua mau minta satu hal lagi, boleh?”

“Hm? Apa tuh?”

“Jangan luka lagi, Kay, please. Gua ga suka liat wajah cantik lo harus lecet, apalagi cuma buat belain orang kaya gua.”

Kayra terkekeh pelan, “Secara ga langsung lo bilang gue cantik.”

“Iya.”

Kayra terdiam menatap Javier, sedangkan orang yang sedang ia tatap malah terkekeh melihat reaksi Kayra.

“Jadi kita baikan?”

Javier mengangguk, tangan kekarnya terulur ke kepala Kayra, merapikan rambut Kayra yang terlihat berantakan, walau Javier tau hal itu tidak akan mengurangi cantiknya Kayra.

Satu hal yang ada di pikiran Javier sekarang, ia sudah merasa tenang kembali.

Laki-laki kaku ini baru saja melakukan perubahan besar dalam dirinya. Mengucapkan kata maaf yang sebelumnya sangat sulit ia lakukan. Namun kali ini ia sadar, setelah kata itu terucap, sebuah ketenangan akan muncul di saat yang sama.

Tenang karena sudah minta maaf, atau tenang karena saat ini berada di dekat Kayra, Jav?