✧.* 180.


Tidak ada yang lebih gila dari seorang Jidan yang membelikan Shenna es krim, namun ditambah bonus yaitu lemari pendinginnya. Shenna tak habis pikir, menurutnya Jidan benar-benar gila.

Berapa banyak uang yang harus dikeluarkan Jidan untuk membelikan hal yang tak sengaja ia sebutkan ini? Shenna mengetik kalimat singkat itu tanpa berpikir panjang. Siapa sangka Jidan justru mengabulkannya?

Shenna masih terdiam sambil memandangi lemari pendingin yang berisi banyak es krim dengan berbagai macam rasa itu. Ia memijat keningnya secara perlahan, Jidan memang paling bisa membuatnya pusing.

Ting tong! Ting tong!

Setelah mendengar suara bel dari apartemennya itu, Shenna langsung bergegas ke depan. Ia sudah tahu kalau orang yang datang itu adalah Jidan, maka dari itu ia menarik nafasnya, mempersiapkan diri untuk mengeluarkan segala omelan untuk lelaki itu.

“Loh? Muka lo kenapa?”

Shenna reflek mendekat ke arah Jidan, memegang kedua pipi Jidan dan melihat disana pipi Jidan sedikit membiru.

“Dapet hadiah kecil tadi dari Axel, hehe.”

Ah, sepertinya Shenna paham maksud Jidan. Shenna tak menjawab lagi, ia menggandeng tangan Jidan untuk masuk ke dalam apartnya dan mendudukkan Jidan di sofa yang ada di ruang tengah miliknya.

Shenna meninggalkan Jidan sebentar, mengambil kotak P3K yang selalu ada di apartnya. Setelah di pikir-pikir, kotak P3K nya ini bahkan tak pernah ia pakai sendiri, justru digunakan untuk mengobati orang lain. Contohnya Jidan dan Marvel.

“Sini, hadap ke gue.” ucap Shenna setelah kembali duduk di samping Jidan. Ia memperhatikan wajah tampan Jidan dengan lekat, sampai tak sadar tiba-tiba saja ia tersenyum.

“Ini abis dipukul, loh. Kok malah senyum?”

“Salah lo sendiri.”

“Na, susah.”

“Apanya?”

Bukannya menjawab, secara mendadak Jidan malah menarik pelan Shenna, membawa tubuh kecil gadis itu ke atas pangkuannya. Tangannya dengan santai memeluk pinggang gadis yang sudah berada di pangkuannya itu. “Gini aja ngobatinnya, biar gak susah.”

Shenna terdiam, ia terkejut dengan serangan mendadak yang diberikan oleh Jidan itu. Matanya mengerjap. Ia belum sepenuhnya sadar dengan apa yang baru saja terjadi. Perutnya terasa geli sekarang, rasanya seperti banyak kupu-kupu bertebaran karena ulah laki-laki di depannya ini.

Mendadak pipinya memerah setelah sadar bahwa posisinya dengan Jidan sangat dekat sekarang. Tentu saja Jidan menyadari hal itu, sehingga Jidan tertawa kecil melihat ekspresi gadisnya yang masih terdiam itu.

“Jadi ngobatin, nggak?”

“Ngeselih ih!”

“Ngeselin, tapi pipinya sampe merah gitu?”

Shenna memukul pelan bahu Jidan, yang justru menimbulkan gelak tawa dari laki-laki tersebut. Gadis di depannya ini benar-benar menggemaskan. Ah iya, menurut Jidan sih, sebenarnya Shenna selalu menggemaskan.

“Sama pacar gak boleh galak gitu.”

“Sejak kapan gue terima?”

“Aku nggak terima penolakan, sih.”

“Ish!”

Shenna tidak menjawab lagi, ia memilih melanjutkan aktivitasnya untuk mengobati pipi Jidan. Sedangkan laki-laki yang sedang di obati itu asyik menikmati pemandangan wajah cantik yang dimiliki Shenna.

“Nggak mau nanya apa-apa?”

“Nanya apa, apanya?”

“Tadi pasti liat kan?”

Shenna mengangguk, “Iya. Tapi gak mau nanya apa-apa. Kalau lo pikir itu penting, pasti lo bakal ngomong ke gue, kan?”

“Aku.”

“Apa?”

“Aku kamu. Jangan gue lo lagi. Nggak enak dengernya.”

“Males banget.”

“Oh, gitu.” Jidan mengangguk setelah mendengar kalimat penolakan dari Shenna itu. Tangannya kembali mengeratkan pelukannya pada pinggang Shenna, tentu saja membuat posisi mereka berdua semakin dekat satu sama lain.

Untuk kesekian kalinya, pipi Shenna memerah lagi karena ulah Jidan. Sedangkan orang yang berulah itu justru tersenyum kemenangan.

“Jidan, Ih!”

“Apa sayang?”