✧.* 222.


“Makasih, ya. Aku pikir tadi kamu nggak jadi nganterin aku.”

“Papi gua yang minta.”

Wajah Jidan terlihat sedikit gusar, pandangannya lurus dan datar memandang jalan di depannya. Kalau bukan karena permintaan papinya, mungkin saat ini ia masih asik menikmati makan siangnya bersama Shenna di kantin fakultas, menyebalkan sekali.

“Shenna udah di anter pulang?”

“Iya.”

“Kalian apartemennya beneran sampingan, ya? Aku sempet denger dari anak-anak, sih.”

“Iya.”

“Oh iya, makasih ya udah repot-repot nganterin aku.”

“Iya.”

Sejujurnya, Jidan sangat malas dengan situasi yang harus dihadapi ini. Pikirannya penuh dengan nama Shenna, ia merasa tidak enak karena harus meninggalkan gadisnya.

Setelah sampai di kantor milik papinya, Jidan tidak langsung pergi. Ia justru memarkirkan mobilnya di lobby yang ada di tempat tersebut. Ellie tersenyum tipis, ia mengira Jidan akan berbaik hati mengantarnya sampai ke dalam.

“Gua naik bukan mau nganterin lo, gua mau ketemu papi.” ucap Jidan yang sadar dengan tingkah gadis yang datang bersamanya itu. Seketika senyum Ellie menghilang begitu saja.

“Iya, Jidan.”

Setelah itu tidak ada lagi obrolan dari mereka berdua. Jidan melangkahkan kakinya menuju lift di kantor itu, sedangkan Ellie hanya mengikutinya dari belakang.

“Loh, nak Jidan? Wah, terima kasih ya, sudah mau nganterin Ellie, sampai ke ruangan ini pula.”

Sapaan tersebut berasal dari perempuan dewasa yang sedang duduk bersama dengan beberapa orang lain di ruangan itu. Tentunya Jidan sudah tau kalau itu adalah mama dari Ellie.

“Iya, tante.” jawab Jidan secara singkat, ditambah senyuman tipis sebagai tanda balasan dari sapaan beberapa orang yang ada disana.

Jidan menghampiri papinya yang berada di tengah orang-orang tersebut, lalu berbicara pelan. “Papi, mau ngomong bentar, boleh?”

“Ngomong aja, abang,”

“Nggak mau disini.”

Sepertinya papi Jidan paham dengan yang dimaksud oleh anak sulungnya itu, ia segera pamit lalu beranjak dari ruangan itu menuju keluar, disusul oleh Jidan yang mengikuti papinya dari belakang.

“Kenapa, Nak? Oh iya, makasih udah mau nganterin Ellie, ya.”

“Iya.”

“Mau bilang apa? Sampai harus keluar gini.”

“Pi, jangan gini lagi, ya?”

“Maksudnya, Nak?”

Jidan menarik nafasnya panjang, dengan hati-hati ia mulai mengungkapkan isi pikirannya.

“Jangan gini lagi, Pi. Hari ini abang turutin papi, karna abang tau, niat papi sebenernya baik, papi nggak mau biarin Ellie berangkat sendirian kesini. Tapi untuk selanjutnya. abang nggak mau lagi. Abang punya pacar, papi. Abang harus bisa jaga perasaan pacar abang.”

Papinya menaikkan salah satu alisnya, “Pacar? Shenna? Dia bukan pacar beneran, kan? Papi sudah dengar dari Ellie.”

Sialan. batin Jidan.

Jidan awalnya sedikit terkejut dengan kalimat yang diucapkan papinya, namun sebisa mungkin ia menutupi ekspresi kagetnya di depan papinya.

“Enggak. Shenna emang pacar abang, dan abang sayang sama Shenna, pi. Abang nggak mau karna terus-terusan berurusan Ellie, nanti malah jadi nyakitin Shenna. Abang harap, papi ngerti maksud abang sekarang.”

Mendengar penjelasan panjang dari Jidan itu membuat papinya tersenyum. Ada rasa bangga dalam hati papinya, melihat anak sulungnya ini sudah dewasa, dan sudah tau bagaimana seharusnya menjaga perempuan. Ia juga merasa bersalah sudah meminta Jidan melakukan hal yang sebenarnya Jidan tidak mau.

Papi jidan mendekat, lalu menepuk pelan bahu jidan. “Papi ngerti, Nak. Maaf merepotkanmu hari ini, ya.”

“Nggak ngerepotin, pi. Abang cuma bilang aja, kalau abang nolak sesuatu yang papi minta, berarti emang ada alasannya.”

“Iya iya, papi paham.”

“Kalau gitu abang pulang dulu.”