#222 Cil, bocil.


Angin pantai terdengar jelas di telinga, terasa sangat dingin di kulit. Entah mereka masih menyukai atau malah menyesal memilih belajar di pinggir pantai. Untungnya kali ini masing-masing memakai hoodie, hanya Kayra yang memakai kaos lengan panjang, setidaknya ia tak terlalu kedinginan.

Sudah dua jam lamanya empat orang ini berdiskusi mengenai soal matematika yang mungkin akan mereka dapat besok, sambil mereview materi lain, dan mengingat berbagai macam rumus.

Pukul 10 malam, mereka memutuskan untuk menyudahi kegiatan belajar mereka hari ini. Semua sudah selesai merapikan barang-barangnya, berniat untuk segera kembali ke kamar masing-masing.

Berbeda dengan Kayra, entah apa yang sedang di pikirannya, mendadak ia menjadi diam. Saat ini pun ia sedang melamun sambil memandang ke arah pantai.

Sepertinya Javier paham dengan situasinya. Ia menyuruh Zefaya dan Jaziel untuk masuk lebih dulu ke kamar.

“Duluan, gih. Dia biar gua aja yang urus,” ucap Javier yang dibalas anggukan oleh Zefaya dan Jaziel sebelum keduanya meninggalkan tempat itu untuk menuju ke kamar.

Javier membenarkan posisinya, duduk di samping Kayra dan menghadap ke garis tersebut. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan Javier, ia menggeser kursi yang diduduki Kayra, mengubah posisinya agar Kayra menghadap ke arahnya.

Kayra baru sadar dari lamunannya, baru menyadari juga kalau Zefaya sudah tidak ada di tempat itu.

“Eh? Yang lain udah naik? Maaf, gue tadi melamun. Yuk naik, yuk!” Baru saja Kayra berniat untuk berdiri dan merapikan barang yang ia bawa, tangannya ditahan oleh Javier, membuat gadis itu menjadi terduduk kembali.

Javier menatap Kayra serius, seperti sedang menebak-nebak apa isi pikiran dari gadis di depannya ini, “Mikirin apa?”

“Hah?”

“Lo.”

Kayra menggeleng, “Nggak, kok. Cuma ngelamun biasa aja tadi.” Tangan Kayra belum lepas dari genggaman Javier, bukannya melonggar, Javier malam semakin mengerat.

“Ra.”

Kayra memanyunkan bibirnya, “Iya iya, ih. Gue cuma lagi takut. Takut sedikit, mungkin? Eh, engga. Takut banyak bangeeeeetttt. Besok kita gimana ya, Jav? Gue takut besok kita ga bisa berhasil kaya yang biasanya kita lakuin sebelumnya. Pasti banyak banget yang berharap kita bisa bawa pulang piala buat sekolah. Kalau kita gagal gimana? Kalau mereka kecewa sama kita gimana?”

Panjang lebar Kayra menjelaskan apa yang memenuhi pikirannya sejak tadi, dan Javier pun memperhatikan gadis itu dengan serius.

“Udah?

Kayra mengangguk. Ia pikir Javier hanya akan sekedar mendengarkannya, ternyata salah.

“Apa yang lo takutin itu belum tentu kejadian, Ra.”

“Gue tau! Tapi tetep aja gue takut, Javi.”

“Kita pasti bisa. Kalau pun nggak, setidaknya ada satu orang yang gak akan kecewa sama lo.”

“Siapa?”

“Gua.”

Kayra terdiam, tak tau harus merespon apa lagi selain menatap Javier. Untuk kesekian kalinya, Kayra merasa bersyukur karena orang yang menjadi partnernya adalah Javier. Kalau bukan Javier orangnya, mungkin ia tidak akan merasakan semua ini.

Kayra kembali ke lamunannya, sedangkan Javier tiba-tiba saja melepas hoodie kesayangannya, lalu memberikannya ke Kayra.

“Pake ini,” ucap Javier sambil memberikan hoodienya.

“Eh? Nggak usah, gue gapapa.”

Mendapat penolakan bukan berarti seorang Javier akan mengalah. Javier justru sebaliknya. Ia membantu gadis tersebut menggunakan hoodienya, memasukkan tangan Kayra ke dalam hoodie tersebut, lalu merapikannya setelah Kayra berhasil memakainya.

“Gue bukan anak kecil, Javier.”

“Terus apa? Bocil?”

“Ih! Bukan!”

“Cil, bocil.”

“Javi!”

Javier merapikan rambut Kayra, mengeluarkan rambut yang masih masuk di dalam hoodie yang baru saja Kayra pakai. Lalu mengusap pelan kepalanya.

Jangan tanya bagaimana Kayra sekarang, ia hanya bisa diam. Namun tidak dengan jantungnya yang mendadak bekerja tiga kali lipat dari biasanya.

“Udah. Ayo naik, udah malem. Besok lo harus bangun pagi,” ajak Javier ke Kayra.

Setelah menunggu Kayra selesai merapikan barang-barangnya, keduanya bergegas masuk ke dalam hotel dan Javier mengantarkan Kayra sampai ke depan kamarnya.

Satu hal yang membuat Kayra masih tak banyak bicara selama mereka menuju ke kamar, Javier terus menggenggam tangannya.