archivecapella

Special from Cornerstone; Here For You


Bel pintu apartemen milik Shenna sudah berbunyi tiga kali, Jidan Acturus pelakunya. Awalnya Jidan pikir mungkin saja Shenna masih belum tidur, apalagi kekasihnya itu baru mengirimkan pesan sekitar 20 menit yang lalu. Sayangnya, sampai saat ini belum ada respons yang ia dapat.

Lelaki berkaos putih dengan celana selutut itu akhirnya menekan pin pintu apartemen kekasihnya, lalu masuk ke dalam.

Gelap, lampu yang mati menjadi pemandangan pertamanya saat masuk. Apakah kekasihnya sudah tidur?

“Na?” Panggilnya, namun tak kunjung terdengar jawaban. Jidan mulai menyalakan beberapa lampu yang ada di apartemen kekasihnya itu, setidaknya ada cahaya yang menerangi ruangan. Ia sedikit terkejut melihat ruang tengah dan dapur yang berantakan, tak biasanya Shenna seperti ini. Sesibuk itu kah kekasihnya, sampai tumben sekali tak sempat bersih-bersih.

Langkah kakinya bergerak menuju salah satu ruangan, ruangan khusus yang menjadi tempat favorit Shenna untuk belajar. Benar saja, Shenna sedang tertidur di meja belajarnya. Tumpukan buku tebal masih berserakan di meja sampai di lantai, bahkan komputer dan Ipad yang ada di meja pun masih menyala.

Jidan menghela nafasnya, kekasihnya bekerja terlalu keras untuk mengerjakan tugas akhirnya.

Ia mendekat, perlahan mengambil buku-buku yang ada di dekat Shenna berniat untuk merapikannya. Begitu hati-hati, tak ingin kegiatannya mengganggu tidur kekasihnya.

Buku selesai dirapikan, beberapa sampah sisa cemilan sudah dibuang, komputer dan Ipad pun sudah dimatikan. Ruangan itu terlihat sedikit lebih rapi dari sebelumnya. Tinggal Shenna yang perlu ia pindahkan dari ruangan ini.

Jidan memposisikan dirinya sedikit berjongkok menghadap ke kekasihnya yang matanya masih tertutup. Tiba-tiba saja senyum terukir di bibirnya.

“Cantik,” puji Jidan sambil menatap Shenna. “Ketiduran begini aja kamu cantik banget, Na.”

Tangannya terulur untuk mengusap wajah Shenna, merapikan rambut yang menutupi wajah cantik kekasihnya. Mengusap bagian bawah mata sang kekasih, “Kantung matanya sampe keliatan gini. Kasian banget cewek gua keliatan capek banget.”

Puas memandangi wajah gadis di depannya, sambil terus mengusap pipi kekasihnya ia membangunkan Shenna perlahan. “Na … Sayang, bangun dulu, yuk?” Panggilnya dengan lembut, “Pindah ke kamar, ya? Jangan tidur disini, nanti badan kamu malah sakit.”

Shenna mulai membuka matanya sedikit, lalu dipejamkan lagi. Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Ngantuk, Ji. Nanti aja,” jawabnya dengan suara kecil yang hampir tak terdengar.

No, no. Yang ada, nanti kamu bangun tidur badannya sakit semua.” Jidan berusaha membujuk, namun sepertinya usahanya tidak berhasil.

Ia menggoyangkan badan Shenna lagi, membuat gadis itu mau tak mau membuka matanya lagi. “Sini, aku gendong ke kamar.”

Kali ini Shenna menurut, ia mendekat ke Jidan lalu segera mengalungkan kedua tangannya ke leher sang kekasih. Membiarkan Jidan mengangkatnya. Kakinya menyusul mengalung di pinggang Jidan, wajahnya ia benamkan di antara ceruk leher Jidan.

Jidan tak terganggu dengan Shenna, ia membenarkan posisinya lalu membawa Shenna keluar dari ruang belajarnya menuju ke kamar.

Baru sampai ruang tengah, secara tak sengaja Jidan mendengar perut Shenna berbunyi. Sontak hal itu membuat Jidan tertawa pelan.

“Laper, ya? Pasti tadi kamu lupa makan. Mau makan dulu, sayang?” Tanyanya pada Shenna yang ada di gendongannya. Belum ada respon. Jidan bergerak ke arah sofa, berniat mendudukkan Shenna ke sofa. “Aku masakin sesuatu, ya? Tunggu di sofa aja.”

Belum sempat Jidan menurunkan Shenna, gadis itu tiba-tiba mengeratkan pelukannya di leher Jidan. “Jangan turunin aku, aku masih mau peluk kamu,” bisiknya.

“Iya, nanti peluk lagi. Makan dulu. Itu perut kamu udah bunyi gitu.” Shenna semakin mengeratkan pelukannya, ia menggeleng. “Gak mau. Jangan dilepas dulu. Mau peluk kamu dulu yang lama.”

Jidan tersenyum dengan tingkah Shenna. Kalau sudah seperti ini, bagaimana caranya ia menolak. Akhirnya ia memilih untuk mengalah. Justru Jidan yang mendudukan dirinya di sofa, membiarkan kekasihnya duduk di pangkuannya. Ia membenarkan posisi Shenna agar gadis itu merasa nyaman.

“Manja banget, tumben?”

“Kangen.”

“Kangen siapa?”

“Kamu.”

Jidan tersenyum jahil, “Aku? Siapa yang kangen aku?”

Terdengar bunyi pukulan pelan di punggungnya, sudah pasti Shenna pelakunya.

“Ga usah iseng!” Tentu Shenna sadar, orang yang sedang ia peluk ini sengaja menjahilinya.

“Hahaha, kan aku nanya.”

“Aku … Aku kangen kamu.”

Jidan mengusap punggung Shenna, sesekali mengecup kening sang kekasih. “I miss you too, cantik.” Tangannya mulai memberikan tepukan-tepukan kecil pada punggung Shenna. “Gimana kerjaannya? Udah sampe mana?”

“Masih stuck di bab tiga, Ji. Pusing banget aku ngerjainnya.”

“Masih banyak banget?”

Shenna mengangguk.

Sepertinya gadis itu terlalu nyaman dengan posisinya saat ini, apalagi wajahnya yang berada di ceruk leher Jidan membuatnya dapat dengan jelas mencium wangi khas sang kekasih. Tak jarang Shenna memberi kecupan kecil pada leher Jidan, tangannya pun bergerak mengusap sisi lain dari leher sang kekasih.

“Ji.”

“Hm?”

“Aku takut ga bisa ikut wisuda periode depan.”

Jidan sedikit melirik ke Shenna, kepalanya terulur mengusap rambut sang kekasih. “Na, bahkan kalau kamu ikut yang periode selanjutnya lagi pun, kamu tetep termasuk lulus tepat waktu.”

“Tapi kamu udah hampir selesai.”

“Kamu begini karna liat aku?”

“Bukan gitu, tapi … aku mau lulus cepet juga.”

“Kalaupun aku duluan dari kamu, aku pasti tetep nungguin kamu. Lagian aku juga gak buru-buru. Emang kenapa kamu mau lulus cepet?”

“Nikah.”

“Hah?”

“Aku mau nikah, sama kamu.”

Percayalah, saat ini Jidan sedang berusaha mati-matian untuk tidak tertawa gemas mendengar jawaban Shenna. Dari semua jawaban yang mungkin ia dengar, tak pernah menyangka Shenna akan menjawab seperti itu.

“Kamu mau nikah sama aku?”

Mendengar pertanyaan itu membuat Shenna reflek menegakkan tubuhnya. Menatap Jidan dengan tajam, tiba-tiba wajahnya terlihat cemberut. “Kok kamu nanya nya gitu? Emang ga mau nikah sama aku?”

Jidan menggigit bibir bawahnya sendiri, tak tahan dengan kegemasan yang sedang ia lihat.

“Jawab, Ji!”

Tangannya mulai menangkup pipi Shenna, mengusap gemas pipi gadis itu. “Na, listen to me. Kamu ga perlu terlalu maksa diri terlalu keras buat ngerjain ini semua. Pelan-pelan, Na. Satu per satu, pasti semuanya bisa diselesain.”

“Nikah sama kamu? Kan biasanya aku yang selalu bahas itu. Masa sekarang malah ga yakin sama aku? Tadi bukannya kamu yang bilang ke aku mau lanjut S2? Kenapa sekarang bilangnya mau cepet-cepet?”

“Justru itu, aku mau cepet-cepet selesain ini. Sebisa mungkin aku lulus bareng kamu. Kalaupun misalnya aku beneran lanjut, seenggaknya kamu ga nunggu aku terlalu lama. Aku takut.”

Jidan merapikan rambut-rambut kecil Shenna, lalu menyelipkannya di belakang telinga Shenna. “Hm? Takut?”

“Takut kamu capek nunggu aku, Ji.”

“Kenapa bisa mikir gitu?”

Shenna menggelengkan kepalanya, ia menunduk. Sedikit takut setelah mengucapkan kalimat barusan. “I don’t know, aku cuma…”

Jidan mengangkat kembali wajah Shenna agar gadis itu menatapnya, kedua tangannya menangkup wajahnya, memberikan usapan lembut di pipi gadisnya. “Na. Mau kamu lulusnya cepet atau engga sekalipun, kalau emang udah jalannya buat kita berdua, semuanya pasti bisa diselesain dengan baik, kok. Aku ga akan maksa kamu buat harus selesaiin semuanya secepatnya. Mau nanti akhirnya aku yang duluan lulus, mau setelah ini kamu lanjutin lagi pendidikan kamu, aku bakal tetep nungguin kamu.”

“Beneran, ya?”

Jidan mengangguk dengan yakin, sebelum akhirnya ia mengecup bibir Shenna dengan cepat. “Don't worry. I will always be here, with you.

“Ih! kok tiba-tiba cium aku?”

“Dari tadi juga pengen aku cium, cuma masih ketahan aja.”

“Heh!”

“Apa sayang?”

“Ngeselin!” Shenna mengucapkan kalimat tersebut, namun tangannya justru mengalung lagi di leher Jidan.

“Iya, aku emang keren.”

“Ji.”

“Hm?” Jidan menatap hangat ke arah Shenna.

Shenna tiba-tiba mendekatkan wajahnya, kali ini ia yang lebih dulu mengecup bibir Jidan. Sedikit lebih lama dari yang Jidan lakukan sebelumnya. “I love you.

Jidan tersenyum, “I love you too.

Prove it.

What?

You said you love me too. Prove it, scream it to the world.

Sebenarnya Shenna mengucapkan kalimat itu tanpa niat apapun. Ia hanya mengatakan apa yang ada di pikirannya.

Shenna pikir, Jidan akan berteriak di ruangan itu untuk membuktikan apa yang baru saja dikatakan. Namun yang terjadi justru Jidan menarik Shenna, lalu mendekat ke telinganya. “I love you,” bisik Jidan.

Shenna menoleh, menatap wajah Jidan yang saat ini hanya berjarak 10 senti dengannya. “Why did you whisper it to me?

Because you’re my world.

Shenna tak bisa menahan ekspresinya. Pipinya langsung memerah, Jidan menyadari itu walau lampu yang menyala tak begitu terang. Jelas Shenna salah tingkah dengan perkataan Jidan.

Shenna mengecup bibir Jidan, tak hanya sekali. Ternyata tak sampai disitu, kali ini ia memberikan begitu banyak kecupan di wajah Jidan, dahi, mata, hidung, pipi. Ia berhenti sejenak, menatap bibir Jidan yang sudah sedikit basah karena ulahnya, wajahnya mendekat kembali dan mencium bibir Jidan.

Tentu Jidan tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, tepat setelah Shenna mempertemukan bibirnya, Jidan menahan tengkuk Shenna. Membuat kecupan itu tak hanya menjadi sebuah kecupan, namun menjadi sebuah ciuman yang lagi-lagi berubah menjadi lumatan lembut.

Shenna tak menolak, tangannya kembali mengalung di leher Jidan. Ia mulai membalas lumatan yang ia dapat, lumatan-lumatan lembut yang semakin lama terdengar suara decakan yang menggema di ruang tengah apartemen Shenna.

Merasa pasokan nafasnya mulai menipis, ia menepuk bahu Jidan perlahan. Yang diberi tanda pun paham dan segera melepas tautan.

Keduanya saling menatap satu sama lain, Jidan membiarkan Shenna mengatur nafasnya. Ia sedikit terkekeh, tangannya mengusap bibir basah Shenna. “Cantik.”

“Apa?”

“Kalau abis ciuman cantik banget. Cium terus aja kali, ya?”

Shenna memukul bahu Jidan, “Ngaco kamu!”

Yang dipukul pun hanya tertawa. “Jadi ini mau makan, atau mau tidur nih?”

“Aku gak laper. Mau tidur aja.”

“Ya udah, gih ke kamar.”

“Kok gitu?”

“Kok gitu apanya?”

Shenna merapatkan tubuhnya lagi ke Jidan, memeluk leher sang kekasih lebih erat dari sebelumnya. “Anterin.”

“Mau tidur sama aku?”

Shenna mengangguk.

“Yakin? Tidurnya sambil aku cium-cium, gapapa?”

“Jidan!”

#300 – Pinky Promise


“Nanti aku pasti bakal sering ke Bandung, sih.”

Sehari setelah mengetahui kabar Kayra juga berhasil lolos seleksi SNMPTN, Kayra meminta Javier untuk datang ke rumahnya. Salah satunya untuk menggunakan tiket yang diberikan Javier.

Javier pikir, tiket yang ia berikan akan Kayra gunakan untuk melakukan banyak kegiatan di luar. Bisa saja gadis itu pergi ke berbagai tempat selama seharian penuh. Namun ternyata dugaannya salah, Kayra justru meminta Javier untuk datang ke rumahnya.

Mungkin yang membedakan adalah bagaimana keduanya menghabiskan waktu selama di rumah Kayra. Banyak kegiatan yang sudah mereka lakukan, mulai dari mencoba membuat kue sampai membuat bunda Gianna hanya bisa menggelengkan kepala karena Javier dan Kayra Justru hanya mengacaukan isi dapur.

Bersantai di halaman rumah, mereka menggelar tikar seperti sedang piknik. Javier dan Kayra juga sempat bermain game bersama, walau sebenarnya keduanya bukan tipe yang jago memainkan game tersebut.

“Ngapain ke Bandung?”

“Ketemu kamu, lah! Mau ngapain lagi aku kesana kalau bukan karna kamu?”

“Ga usah, aku aja nanti yang ke Jogja.”

“Ih! Gak boleh gitu. Kalo gitu gantian aja kita berdua, aku ke Bandung, terus nanti kamu ke Jogja.”

“Nah, itu baru adil.”

Saat ini keduanya memilih untuk bersantai di balkon yang berada di lantai dua dari rumah Kayra. Mereka duduk di sofa yang ada di tempat itu, dengan posisi saat ini Kayra yang menyandarkan kepalanya di bahu Javier.

“Javi.”

“Hm?”

“Kamu gak takut?”

“Takut?” Javier sedikit menunduk agar bisa melihat wajah gadis di sampingnya.

Kayra mengangguk, “Kita mau pisah jauh banget, bakal jarang banget ketemu. Biasanya aku bisa ketemu kamu hampir setiap hari. Nanti kita kalau ketemu berapa bulan sekali, ya, kira-kira?”

“Jadi… Apa yang buat kamu takut?”

“Takut aja jauh sama kamu. Atau aku UTBK lagi aja, ya? Terus aku ambil FK UNPAD, biar ga jauh-jauh banget dari kamu.”

Javier yang mendengar ucapan tersebut langsung menyentil pelan dahi Kayra.

“Aduh! Kok aku disentil?” tanya Kayra sambil mengusap-usap dahinya sendiri.

“Makanya kalau ngomong jangan sembarangan.”

Kayra tak menjawab lagi. Ia memanyunkan bibirnya, lalu kembali di posisinya yang menyender ke Javier.

“Aku pasti bakal sempetin waktu supaya bisa sering ketemu kamu. Walaupun ga bisa sesering biasanya, setidaknya aku bakal usahain sebisa aku.”

“Beneran?”

Javier mengangguk, “Apapun hal gak baik yang ada di pikiran kamu sekarang, buang jauh-jauh. Aku yakin kita bisa jalani ini, kok. Sekarang aku tanya balik ke kamu, kamu yakin, ga?”

“Aku bukan ga yakin. Aku cuma takut, sedikit. Sedikit doang, kok, serius!”

Kayra mengubah posisinya jadi menghadap ke Javier, begitu pula Javier yang ikut menghadap ke Kayra. Keduanya terdiam sebentar, saling bertatapan satu sama lain.

“Javi, ini pertama kalinya aku bakal jalani hubungan jarak jauh, dan kamu juga begitu. Aku yakin kedepannya kita ga mungkin selalu baik-baik aja. Pasti akan ada fase dimana ada hal yang jadi sebuah masalah buat kita. Tapi denger ini baik-baik… Apapun masalah yang akan datang nantinya, apapun hal yang bisa jadi alasan buat kita renggang, kamu ga boleh nyerah gitu aja. Kita harus hadapi semuanya sama-sama. Kalau kamu ga terbiasa terbuka ke orang lain, sama aku kamu harus jadi diri kamu sendiri. Oke?”

Selama mendengar kalimat panjang yang Kayra ucapkan, justru membuat Javier tersenyum sambil menatap wajah cantik Kayra. Cantik yang menurut Javier tak akan cukup jika hanya diungkapkan dengan satu, dua, atau bahkan seribu kata sekalipun.

Terkadang, di beberapa sisi Kayra lah yang justru lebih menunjukkan sisi dewasanya. Hal itu yang membuat Javier selalu merasa bersyukur selama bersama Karya.

Javier mengangguk dengan mantap, “Oke.”

“Janji?”

“Janji.”

Kayra mengambil tangan kanan Javier, lalu menautkan jari kelingkingnya dan juga kelingking Javier, “Pinky promise, yeay!

Bohong kalau mereka tak khawatir tentang apa yang akan terjadi kedepannya, tentang hubungan mereka yang sebentar lagi akan sampai di hubungan jarak jauh yang menjadi tantangan baru untuk keduanya.

Kayra sedikit khawatir, Javier pun merasakan hal yang sama. Namun keduanya memilih untuk berusaha membuang jauh-jauh rasa khawatir masing-masing. Berusaha saling meyakini satu sama lain kalau keduanya bisa melewati tantangan ini.

Semua orang tau, yang namanya hubungan jarak jauh itu bukanlah hal yang mudah. Begitu pula Kayra dan Javier. Tapi disisi lain mereka sadar, mereka harus melewati ini demi mencapai cita-cita mereka masing-masing.

Javier maupun Kayra percaya, sesulit apapun tantangan hubungan mereka kedepannya, kalau mereka memang punya takdir untuk bersama, semesta pasti akan membantu mereka untuk menjaga hubungan ini baik-baik.

“Ra.”

“Iya, Javier?”

“Aku sayang kamu.”

Kayra tersenyum manis, ia mendekat lalu memeluk Javier dengan erat, “Aku juga sayang kamu! Selamat berjuang, sayang. Semoga cita-cita kamu maupun aku bisa tercapai, ya!”

“Selamat berjuang, kita.”


End.

#222 Cil, bocil.


Angin pantai terdengar jelas di telinga, terasa sangat dingin di kulit. Entah mereka masih menyukai atau malah menyesal memilih belajar di pinggir pantai. Untungnya kali ini masing-masing memakai hoodie, hanya Kayra yang memakai kaos lengan panjang, setidaknya ia tak terlalu kedinginan.

Sudah dua jam lamanya empat orang ini berdiskusi mengenai soal matematika yang mungkin akan mereka dapat besok, sambil mereview materi lain, dan mengingat berbagai macam rumus.

Pukul 10 malam, mereka memutuskan untuk menyudahi kegiatan belajar mereka hari ini. Semua sudah selesai merapikan barang-barangnya, berniat untuk segera kembali ke kamar masing-masing.

Berbeda dengan Kayra, entah apa yang sedang di pikirannya, mendadak ia menjadi diam. Saat ini pun ia sedang melamun sambil memandang ke arah pantai.

Sepertinya Javier paham dengan situasinya. Ia menyuruh Zefaya dan Jaziel untuk masuk lebih dulu ke kamar.

“Duluan, gih. Dia biar gua aja yang urus,” ucap Javier yang dibalas anggukan oleh Zefaya dan Jaziel sebelum keduanya meninggalkan tempat itu untuk menuju ke kamar.

Javier membenarkan posisinya, duduk di samping Kayra dan menghadap ke garis tersebut. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan Javier, ia menggeser kursi yang diduduki Kayra, mengubah posisinya agar Kayra menghadap ke arahnya.

Kayra baru sadar dari lamunannya, baru menyadari juga kalau Zefaya sudah tidak ada di tempat itu.

“Eh? Yang lain udah naik? Maaf, gue tadi melamun. Yuk naik, yuk!” Baru saja Kayra berniat untuk berdiri dan merapikan barang yang ia bawa, tangannya ditahan oleh Javier, membuat gadis itu menjadi terduduk kembali.

Javier menatap Kayra serius, seperti sedang menebak-nebak apa isi pikiran dari gadis di depannya ini, “Mikirin apa?”

“Hah?”

“Lo.”

Kayra menggeleng, “Nggak, kok. Cuma ngelamun biasa aja tadi.” Tangan Kayra belum lepas dari genggaman Javier, bukannya melonggar, Javier malam semakin mengerat.

“Ra.”

Kayra memanyunkan bibirnya, “Iya iya, ih. Gue cuma lagi takut. Takut sedikit, mungkin? Eh, engga. Takut banyak bangeeeeetttt. Besok kita gimana ya, Jav? Gue takut besok kita ga bisa berhasil kaya yang biasanya kita lakuin sebelumnya. Pasti banyak banget yang berharap kita bisa bawa pulang piala buat sekolah. Kalau kita gagal gimana? Kalau mereka kecewa sama kita gimana?”

Panjang lebar Kayra menjelaskan apa yang memenuhi pikirannya sejak tadi, dan Javier pun memperhatikan gadis itu dengan serius.

“Udah?

Kayra mengangguk. Ia pikir Javier hanya akan sekedar mendengarkannya, ternyata salah.

“Apa yang lo takutin itu belum tentu kejadian, Ra.”

“Gue tau! Tapi tetep aja gue takut, Javi.”

“Kita pasti bisa. Kalau pun nggak, setidaknya ada satu orang yang gak akan kecewa sama lo.”

“Siapa?”

“Gua.”

Kayra terdiam, tak tau harus merespon apa lagi selain menatap Javier. Untuk kesekian kalinya, Kayra merasa bersyukur karena orang yang menjadi partnernya adalah Javier. Kalau bukan Javier orangnya, mungkin ia tidak akan merasakan semua ini.

Kayra kembali ke lamunannya, sedangkan Javier tiba-tiba saja melepas hoodie kesayangannya, lalu memberikannya ke Kayra.

“Pake ini,” ucap Javier sambil memberikan hoodienya.

“Eh? Nggak usah, gue gapapa.”

Mendapat penolakan bukan berarti seorang Javier akan mengalah. Javier justru sebaliknya. Ia membantu gadis tersebut menggunakan hoodienya, memasukkan tangan Kayra ke dalam hoodie tersebut, lalu merapikannya setelah Kayra berhasil memakainya.

“Gue bukan anak kecil, Javier.”

“Terus apa? Bocil?”

“Ih! Bukan!”

“Cil, bocil.”

“Javi!”

Javier merapikan rambut Kayra, mengeluarkan rambut yang masih masuk di dalam hoodie yang baru saja Kayra pakai. Lalu mengusap pelan kepalanya.

Jangan tanya bagaimana Kayra sekarang, ia hanya bisa diam. Namun tidak dengan jantungnya yang mendadak bekerja tiga kali lipat dari biasanya.

“Udah. Ayo naik, udah malem. Besok lo harus bangun pagi,” ajak Javier ke Kayra.

Setelah menunggu Kayra selesai merapikan barang-barangnya, keduanya bergegas masuk ke dalam hotel dan Javier mengantarkan Kayra sampai ke depan kamarnya.

Satu hal yang membuat Kayra masih tak banyak bicara selama mereka menuju ke kamar, Javier terus menggenggam tangannya.

#214 Midnight Talk

tw // family issue , mention of death


Setelah banyak perdebatan, akhirnya Kayra mau menuruti perkataan Javier untuk menemaninya sampai tertidur.

Kayra kini sudah berhasil menemukan posisi ternyaman, dan hampir seluruh tubuhnya sudah terbungkus oleh selimut berwarna putih.

Sedangkan posisi Javier saat ini duduk di kasur lain yang memang ada di ruangan dan pria itu duduk di ujung kasur, yang mana sebenarnya kasur tersebut akan ditempati oleh Zefaya, namun Zefaya sendiri baru akan datang pagi ini.

Mereka berdua masih saling membungkam mulut dan belum ada yang memulai percakapan. Javier pun memilih membuka ipad milik Kayra, dan membuka materi-materi yang juga berisikan beberapa soal matematika.

Kayra belum juga bisa tertidur. Gadis itu malah memandangi Javier dari samping yang sibuk dengan ipad miliknya.

“Tidur.”

Kayra terkejut, ternyata kegiatannya sedari tadi diketahui oleh lelaki tersebut.

“Apa?”

“Hah? Apa apanya?” tanya Kayra balik.

“Orang kalau liat lo sekarang juga tau kalau lo lagi punya banyak pertanyaan di pikiran lo, Ra.”

“Emang boleh gue nanya?”

Javier menoleh sekilas ke Kayra, lalu kembali menatap ipad di depannya. Ia mengangguk, “Khusus malem ini, gua bolehin ngomong apapun.”

“Gue penasaran sama lo, Javi… Gue tau lo dari awal masuk sekolah ini. Gue interaksi dan mulai deket sama lo juga udah beberapa bulan terakhir. Tapi bahkan gue ga tau banyak hal soal lo. Terakhir kali gue ketemu bokap lo, itu pun situasinya ga mendukung. Gue juga sempet ketemu Marvel, tapi cuma sebentar. Gue penasaran sama lo, Javi. Gue punya banyak pertanyaan di pikiran gue, salah satunya kenapa lo bisa se tertutup ini hidupnya?”

Javier menoleh, “Lo ketemu Marvel? Kok gua gak pernah tau?”

Kayra mengangguk, “Pernah, gak sengaja ketemu di Gramedia. Itu pun ga lama, karna waktu itu gue lupa ada belajar bareng sama lo.”

Kali ini Javier memilih untuk tidak merespon lagi. Bukan apa, dia hanya tidak tau harus menjawab apa lagi. Menceritakan tentang dirinya sendiri ke orang lain bukan hal yang mudah untuknya. Apalagi Javier bahkan tidak memiliki teman yang bisa dikatakan dekat dengannya. Ah iya, ada satu… Kayra.

“Kalau gitu gue duluan yang cerita tentang gue. Tapi habis itu lo harus cerita, ya? Oke deal.”

“Gua ga bilang mau?”

“Tidak menerima penolakan.”

Kayra menarik nafasnya sebelum akhirnya ia mulai menceritakan tentang dirinya, “Nama gue Kayra Anggia Jocelyn.”

“Gua tau.”

“Jangan dipotong dulu ih!”

“Iya-iya.”

“Gue anak satu-satunya, alias anak tunggal. Ayah gue sering ke luar kota, tapi gue tetep sering ketemu kok. Jadi kalau misalnya bokap lagi di rumah, kita serumah pasti nyempetin waktu buat quality time, entah buat sekedar makan di restoran atau pergi ke tempat wisata gitu.”

Mendengar kalimat itu… Membuat hati Javier runtuh seketika. Keluarga utuh, yang Javier tidak pernah rasakan lagi, dan sekarang ia mendengar kalimat tentang hal itu dari Kayra.

“Bunda gue baik bangeeeettt. Javi, pokoknya nanti gue harus kenalin lo ke bunda gue. Pasti dia suka sama lo, soalnya bunda suka banget sama anak baik.”

Anak baik ya….” batin Javier.

“Apa lagi ya? Oh iya, Juna sama Harsha. Gue tuh kenal mereka waktu mpls kelas 10. Awalnya cuma sekedar akrab karna waktu itu kita dihukum bareng karna dateng telat di hari pertama mpls, hahaha.”

“Bisa-bisanya hari pertama aja udah telat,” celetuk Javier.

“Ih! Itu gue kesiangan karna nyiapin barang-barang yang disuruh panitia osis, lagian mereka ribet banget, susah nyarinya. Eh sampe mana tadi ya… Oh Juna Harsha. Nah, terus waktu itu gue pulang sekolah sendiri, bunda sama ayah ga bisa jemput karna ada urusan. Dan lo harus tau, bisa-bisanya ada anak-anak SMA yang kayaknya beda sekolah sama kita, dia nge catcalling gue, gila banget! Disitu pertama kalinya gue pulang sendiri, dan gue ketakutan, bingung harus gimana karna sebelumnya ga pernah kayak gitu. Ternyata di belakang gue ada Juna sama Harsha lagi pulang juga. Mereka liat anak-anak yang catcalling gue, dan sadar gue kayak ketakutan gitu, akhirnya anak-anak itu diributin sama mereka. Bener-bener berantem di pinggir jalan! Untuk ga terlalu narik perhatian orang.”

“Akhirnya anak-anak itu pergi. Juna sama Harsha mukanya lebam karna abis berantem. Terus gue bawa pulang, gue ajak ketemu bunda. Awalnya gue udah takut kalo mereka bakal dimarahin sama bunda, ternyata engga… Bunda malah bilang makasih ke mereka berdua karna udah jagain gue. Dari situ deh, akhirnya kita jadi deket banget. Mereka jadi sering main ke rumah, di rumah gue juga jadi banyak mainan mereka, atau bahkan kadang mereka dateng cuma buat numpang makan.” Tanpa sadar Kayra tersenyum, sambil mengingat-ingat kembali bagaimana ia dengan Juna dan Harsha dulu.

“Pantes.”

“Pantes?”

“Juna sama Harsha protektif banget kalau udah urusan lo,” ucap Javier seadanya.

Kayra terkekeh, ia pun tahu seketat apa Juna dan Harsha menjaganya dari kelas 10 sampai sekarang.

“Sekarang gantian, ayo lo yang cerita tentang gimana seorang Javier aslinya,” pinta Kayra.

“Gak ada yang spesial dari hidup gua, Ra.”

“Gue bukan mau tau yang spesialnya juga, gue mau tau seorang Javier.”

Javier melepas ipad yang ada di tangannya, menaruhnya di nakas yang ada di dekat situ. Ia memilih menyandarkan tubuhnya di kepala kasur sambil menatap lurus ke depan.

“Javier Gauriel Alexander, Alexandernya itu nama keluarga. Lo bisa nemuin nama itu di Marvel, dan papi.”

Kayra tersenyum, sepertinya pancingannya berhasil kali ini.

“Gua anak ke dua dari dua bersaudara. Ah iya, harusnya gua punya adik. Tapi sebelum dia lahir, dia meninggal bareng mami di dalam kandungan.”

Kali ini Kayra yang tertegun, tubuhnya seakan membeku untuk beberapa waktu. Matanya yang fokus menatap Javier.

“Sebenernya waktu itu mami gua udah mau lahiran. Mami, gua, sama Marvel bahkan udah di perjalanan buat ke rs. Tapi kita kecelakaan… Gua sama Marvel selamat, walaupun kita lumayan banyak luka-luka. Tapi mami engga, Ra. Mami meninggal sebelum dia sampe di IGD. Dan ternyata adik gua di dalam kandungan mami pun ikut ga bisa diselamatin.”

“Lo pasti bertanya-tanya, papi gua kemana saat itu, kan? Waktu itu mereka abis berantem lumayan hebat, dan papi keluar dari rumah. Dia baru dateng setelah dapet kabar kalau mami udah ga ada.”

“Gua kadang bingung, Ra. Gua benci sama papi gua, tapi mami dulu selalu bilang supaya gua ga boleh benci sama siapapun, termasuk papi. Dari situ gua mulai membiasakan diri gua buat tetep jalani hidup gua. Gua pikir setelah mami ga ada, papi bakal berubah. Ternyata enggak sama sekali. Dia masih menuntut gua buat jadi apa yang dia mau. Dia mau gua buat jadi sama kayak Marvel, pinter, berprestasi, sampai dapet beasiswa buat kuliah nanti. Gua capek, jujur. Gua capek sama semua perlakuan papi ke gua. Tapi lagi-lagi gua ke inget sama ucapan mami buat tetep nurut ke papi, mau gimanapun kerasnya papi.”

“Papi selalu gunain mami buat gua, Ra. Dia selalu nuntut gua ini itu, dengan alasan supaya mami di surga bangga sama gua. Padahal gua tau mami ga pernah punya pemikiran kayak gitu, kok. Sebelum mami ga ada, mami selalu bilang ke gua kalau gua bisa jadi apapun yang gua mau, gua bisa ngelakuin apapun yang gua suka. Asal dengan satu syarat, gua tetep harus jadi anak yang baik.”

“Dua pandangan hidup yang berbeda yang harus gua jalanin, dan sekarang gua bingung, Ra. Gua bahkan ga tau tujuan dari hidup gua itu sebenernya apa. Pada akhirnya gua cuma milih buat ngikutin alur yang ada, ya salah satunya ikutin apa mau papi gua. Walaupun kadang gua muak sama semuanya, gua lebih milih buat nurut aja. Belajar, juara, belajar, juara. Buat punya temen aja kayaknya ga pernah sempet ada di pikiran gua.”

“Javier… Maaf.”

Suara itu terdengar sangat pelan, bahkan hampir tidak terdengar. Javier menoleh dan melihat Kayra yang sudah menutup matanya, lalu ia tersenyum tipis.

“Maaf… Ga seharusnya gue tanya sesuatu yang bikin lo harus inget luka lama lo lagi. Maaf, Javi.”

“Gapapa.”

“Javi…”

“Hm?”

“Gue ada disini, kok. Gue bisa jadi temen lo, atau apapun yang bisa nemenin lo disini. Ajak gue jav… Ajak gue buat nemenin hari-hari lo. Bawa gue ke setiap cerita hidup lo. Please, jangan pernah ngerasa sendiri lagi, karna sekarang lo punya gue, ya, Jav?”

Itu kalimat terakhir yang bisa Kayra ucapkan sebelum dia benar-benar tertidur, dan Javier memperhatikan gerak-gerik gadis tersebut.

Javier mendekat, kali ini dia duduk di pinggir kasur Kayra, sambil memperhatikan gadis yang sudah terlelap itu. Ia tersenyum tipis, “Nanti ya? Nanti gua ajak lo buat masuk ke cerita gua, lebih dalam lagi, dan lebih banyak lagi, Ra.”

Setelah itu Javier merapikan selimut yang menutupi tubuh Kayra, merapikan rambut yang menutupi wajah gadis tersebut, sambil sesekali mengusap kepala Kayra.

“Selamat tidur, Ra. Tidur yang nyenyak.”

#160 Hai, Zefaya.


Yeay selesai!”

Javier dan juga Kayra melepas seluruh alat tulis yang ada di tangan keduanya setelah mendapat instruksi bahwa waktu pengerjaan soal sudah selesai. Panitia yang berada di sana pun segera mengumpulkan lembar soal dan jawaban yang sudah diisi oleh peserta.

“Tos dulu?” Kayra menoleh ke arah Javier dan mengulurkan tangannya berniat mengajak Javier untuk bertos ria. Siapa sangka Javier membalas uluran tangan tersebut.

“Tos!” senyum ceria langsung terlihat jelas di wajah Kayra, begitu pula Javier yang ikut tersenyum melihat Kayra.

“Ayo keluar. Laper ga?” tanya Javier.

Kayra ikut beranjak dari tempat duduknya, “Laper banget!”

“Padahal tadi makan mcd udah banyak banget.”

“Biarin! Yuk, cari makan dimana ya?”

“Nanti keluar dulu, gampang, sekalian keliling daerah sini.”

Bukan hanya Javier dan Kayra yang mulai meninggalkan tempat olimpiade tersebut, peserta lain pun begitu, bahkan sekarang keadaan ruangan sudah mulai sepi.

Kedua orang ini melangkahkan kakinya berniat keluar dari ruangan.

“JAVI!” suara panggilan yang cukup kencang itu tentu saja langsung terdengar di telinga Javier. Bukan hanya Javier, gadis di sampingnya pun ikut menoleh ke arah sumber suara.

Kayra dapat melihat dengan jelas seorang gadis yang sudah pasti seumuran dengannya, menggunakan seragam yang berbeda dengan miliknya sedang mendekat dengan langkah yang sedikit berlari. Dan dibelakangnya diikuti oleh satu cowok yang memiliki ciri-ciri yang sama, yang Kayra tebak merupakan partner olimnya.

Kayra membeku untuk beberapa detik.

Bagaimana tidak, gadis yang baru saja memanggil Javier itu menghampiri Javier dan langsung memeluk Javier dengan erat. Dan yang lebih membuat Kayra tercengang adalah, Javier menerima pelukan tersebut dengan senyum hangat. Yang Kayra liat ini serius?

Kayra berusaha mengalihkan pandangannya dari dua orang yang sedang berpelukan itu.

Kok tiba-tiba panas ya? Perasaan AC masih nyala semua.” batin Kayra.

Cie, Kayra kepanasan ya? Kiw…

Setelah adegan pelukan yang membuat Kayra merasa sedikit gerah, keduanya melonggarkan pelukan tersebut, namun Javier masih tetap merangkul gadis itu.

“Lo… Kayra kan? Partner Javier?” tanya gadis yang sedang dirangkul Javier.

Kayra mengangguk.

Gadis tersebut tersenyum, lalu mengulurkan tangannya, “Kenalin gue Zefaya. Bisa dipanggil Zef, Zefa, atau Aya juga bisa, senyamannya aja. Kalau yang bareng gue ini namanya Jazel, partner olim gue.”

“Jazel.”

Kayra pun mengulurkan tangannya lalu berjabat tangan dengan orang yang katanya bernama Zefaya itu dan juga partner gadis tersebut, “Kayra, boleh panggil Kay atau ra.”

Zefaya mengangguk, “Kay aja, deh.”

Sebenarnya, Zefaya sudah menyadari tatapan kurang mengenakkan dari Kayra sejak tadi. Ia sedikit tersenyum lalu menoleh ke Javier.

“Kenapa ngeliatin gua gitu?” tanya Javier.

“Dia tau gue, gak, Jav?”

“Engga.”

“Pantes.”

“Pantes?”

Zefaya menggeleng sambil ia melepas rangkulan Javier lalu mendekat ke Kayra, “Javier ini sepupu gue, Kay.”

“Oh, kirain.”

“Kirain apa? Pacar? Ogah banget gue pacaran sama dia. Kalaupun bisa ya, gua juga ga mau sama dia, Kay. Judes banget cowok ini tuh.”

Kayra terkekeh pelan, “Kalau itu gue tau, hahaha.”

Selanjutnya, empat orang tersebut keluar dari ruang itu bersamaan, berniat untuk mencari makan siang bersama juga.

Kayra dan juga Zefaya berada di depan dan asik berbincang-bincang satu sama lain. Walaupun lebih banyak menggosip tentang Javier yang jelas-jelas ada di belakang mereka.

Kok cepet banget akrabnya?

#139 Baikan?


Untuk pertama kalinya seorang Kayra Anggia Jocelyn si siswi berprestasi sekolah harus berurusan dengan guru bk yang kali ini bukan karena hal baik, namun karena ia terjerat masalah keributan.

Sebenarnya sejak awal Kayra sama sekali tidak berniat untuk membuat keributan. Ia mencari pengirim menfess tersebut juga karena ia ingin menegur dan mengingatkan bahwa tidak seharusnya mengirimkan ujaran kebencian seperti itu kepada orang lain, apalagi sampai membawa masalah keluarga orang lain.

Beruntung masalah ini tidak terlalu besar, Kayra diberi keringanan karena sudah menjelaskan dengan jujur apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga Kayra hanya mendapat teguran, dan keduanya sudah saling meminta maaf satu sama lain.

Saat ini Kayra sedang duduk di salah satu kursi yang letaknya tak jauh dari ruang bk, sebenarnya saat ini sudah memasuki jam pelajaran terakhir, namun Kayra masih enggan untuk masuk ke kelas. Entahlah, rasanya energi Kayra masih belum kembali terkumpul untuk mengikuti pelajaran lagi.

Satu lagi yang membuat Kayra lelah, pesan yang ia dapat dari Javier. Isi pikiran Kayra sekarang memikirkan bagaimana cara agar ia tidak bertemu dengan Javier, apakah ia harus masuk kelas saja? Atau ia harus kabur ke kantin. Kayra belum siap jika harus menerima ocehan dari Javier lagi, apalagi masalah yang baru saja ia alami sebenarnya tidak ada urusannya sama sekali dengannya.

“Mau kemana? Kabur dari gua?”

Baru saja Kayra berniat untuk beranjak dari posisinya dan pergi dari sana, niatnya sudah diketahui oleh laki-laki yang baru saja menyapanya itu.

Kayra berbalik, menampilkan senyum anehnya ke arah Javier yang berjarak 2 meter dengannya. Sedikit canggung, apalagi beberapa minggu terakhir Kayra dan Javier tak akur.

Yang Kayra lihat saat ini membuatnya sedikit bingung. Satu, ini masih jam pelajaran, yang seharusnya Javier ada di kelas. Dua, tangan kiri Javier membawa kotak obat? Untuk apa?

Belum sempat Kayra bertanya ke Javier. Javier sudah lebih dulu mendekat ke arah Kayra.

Satu hal yang sangat tak terduga, Javier menggenggam tangan Kayra dan menariknya agar beranjak dari tempat itu.

Kayra terdiam, masih berusaha memproses apa yang saat ini sedang dilakukan oleh Javier. Ia tidak menerima, tapi juga tidak menolak. Tubuhnya mengikuti Javier yang masih menggenggamnya, entah kemana Javier akan membawanya.

“Eh! Mau kemana? Javier, ini masih jam pelajaran, ayo balik kelas aja. Nanti gue kena teguran lagi!” omel Kayra setelah berusaha menyadari dirinya.

“Gak usah bawel. Gua udah izin ke guru yang lagi ngajar di kelas lo sebelum nyamperin lo tadi.”

“Hah? Izin apa?”

Javier tidak menjawab lagi, ia masih melanjutkan langkah kakinya dengan tangannya masih menggenggam tangan kecil gadis yang ada di belakangnya saat ini.

Rooftop, ternyata tempat ini yang menjadi tujuan Javier. Tanpa mengucapkan apapun, Javier mengambil kursi yang ada di tempat itu, satu untuknya, satu lagi untuk Kayra.

Melihat Javier yang tak berucap membuat Kayra pun masih enggan untuk mengucapkan satu katapun, ia tak menolak lagi. Ia memilih menuruti apa yang Javier lakukan padanya.

Contohnya saat ini, Kayra duduk di kursi yang sudah diambil untuknya dan Javier duduk tepat menghadap ke arahnya.

Dalam diamnya, Javier mengambil kotak obat yang sudah ia bawa, membukanya dan mengambil beberapa yang ia perlukan.

“Siniin tangan lo.”

“Hah? Apa?”

Javier menghela nafasnya, dengan lembut ia mengambil salah satu tangan Kayra. Memperhatikan beberapa goresan luka yang ada disana, ia tebak pasti saat ribut tadi Kayra sempat terkena cakaran, apalagi tadi ia melihat ada adegan saling menjambak satu sama lain.

Perempuan kalau sudah ribut ternyata serem juga ya.

Setelah memperhatikan lengan Kayra, Javier memilih untuk mengobati tangan Kayra.

“Aduh!”

“Maaf, sakit banget? Tahan dulu, ya. Ini ga banyak kok.”

Kayra membeku.

Javier, dengan suara lembutnya berusaha menenangi Kayra. Dengan sangat hati-hati mengobati tangan Kayra, dan dengan telatennya memasang beberapa hansaplast di tangan Kayra.

Sepertinya saat ini sedang terjadi keajaiban dunia, deh.

Kayra yang melihat sisi terbalik dari seorang Javier ini bahkan sampai tak sanggup harus merespon seperti apa. Kayra yang biasanya banyak berbicara saat bersama Javier, kali ini memilih diam.


Sudah sekitar 10 menit setelah kegiatan Javier mengobati tangan Kayra selesai. Sudah sekitar 10 menit pula keduanya sibuk, ia sibuk dengan diamnya masing-masing, dan sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Kayra asik memperhatikan padatnya gedung-gedung dari rooftop sekolahnya, sesekali menutup mata sambil menikmati hembusan angin di siang hari.

Sedangkan Javier, entah ia sadar atau tidak, sedari tadi pandangannya mengarah ke Kayra. Memperhatikan dengan dalam gadis di sampingnya dengan senyum tipis yang sedari tadi tak luntur.

Namun itu tidak bertahan lama karena tiba-tiba saja Kayra menoleh ke arahnya, membuat Javier dengan sigap membuang pandangannya ke arah lain, lalu kembali menoleh ke arah Kayra.

“Kenapa liatin gue kayak gitu?”

“Javi, lo kalo mau marahin gue nanti aja deh ya.”

“Gue udah capek banget hari ini. Tadi tuh orang ngeselin banget tiba-tiba jambak gue. Ditambah di ruang bk gue ditegur abis-abisan. Kalo harus mendengar omelan lo lagi, gue udah ga sanggup.”

“Gue tau kok ini sebenernya ga ada sangkut pautnya sama gue, bahkan ini juga bukan urusan gue. Tapi gue ga bisa tahan waktu dia seenaknya nyebut dan bawa-bawa masalah keluarga. Menurut gue itu ga etis aja.”

Kalau Kayra pikir Javier akan memarahinya hari ini, atau bahkan memberikan tatapan menyeramkan untuknya, semuanya salah. Saat kayra menoleh ke arah Javier, yang ia dapat hanya tatapan hangat dan senyum tipis Javier yang ditujukan kepadanya.

“Sini hadap ke gua, Ra.”

Merasa tak ada jawaban, Javier menghadapkan dirinya ke Kayra, lalu mengubah posisi duduk Kayra agar duduk menghadap ke arahnya juga.

Kayra menatap lelaki di depannya dengan bingung, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mendadak tidak beraturan. Javier gila! Sepertinya hari ini ia berniat membuat Kayra pingsan di tempat.

Javier memajukan tubuhnya, mengusap pelan tangan Kayra sambil memberikan senyum yang lebih berkembang dari sebelumnya, “Makasih, ya.”

“Buat?” tanya Kayra yang berusaha tenang.

“Dan maaf. Maaf buat semuanya. Maaf waktu itu gua ngebentak lo, padahal gua tau ga seharusnya gua luapin emosi gua ke lo. Maaf juga waktu itu gua ninggalin lo disana, padahal gua tau kalau gua punya tanggung jawab buat nganterin lo pulang ke rumah. Maaf juga akhir akhir ini gua cuekin lo. Maaf buat sifat kekanak-kanakan gua.”

Javier menarik nafasnya lagi, “Maaf buat yang kali ini, lo jadi sampe harus berurusan sama ruang bk.”

Ucapan panjang dari Javier, satu hal ini lagi yang Kayra tidak pernah dapat sebelumnya dari Javier. Kayra memperhatikan dengan jelas, bagaimana ucapan tulus dan wajah Javier yang seperti merasa bersalah.

Kayra tersenyum tipis lalu mengangguk, “Dimaafin. Ini kemauan gue sendiri juga, kok. Jadi ga sepenuhnya salah lo. Buat waktu itu, gue juga minta maaf, dan gue paham kenapa lo bisa marah. It’s okay, Jav.”

“Gua mau minta satu hal lagi, boleh?”

“Hm? Apa tuh?”

“Jangan luka lagi, Kay, please. Gua ga suka liat wajah cantik lo harus lecet, apalagi cuma buat belain orang kaya gua.”

Kayra terkekeh pelan, “Secara ga langsung lo bilang gue cantik.”

“Iya.”

Kayra terdiam menatap Javier, sedangkan orang yang sedang ia tatap malah terkekeh melihat reaksi Kayra.

“Jadi kita baikan?”

Javier mengangguk, tangan kekarnya terulur ke kepala Kayra, merapikan rambut Kayra yang terlihat berantakan, walau Javier tau hal itu tidak akan mengurangi cantiknya Kayra.

Satu hal yang ada di pikiran Javier sekarang, ia sudah merasa tenang kembali.

Laki-laki kaku ini baru saja melakukan perubahan besar dalam dirinya. Mengucapkan kata maaf yang sebelumnya sangat sulit ia lakukan. Namun kali ini ia sadar, setelah kata itu terucap, sebuah ketenangan akan muncul di saat yang sama.

Tenang karena sudah minta maaf, atau tenang karena saat ini berada di dekat Kayra, Jav?

#102 – Who? tw // fight.


Setelah ulah Javier yang meninggalkan Kayra sendiri di tempat dimana mereka melaksanakan olimpiade, Javier harus menghadapi papinya yang ia sudah bisa menebak sejak awal, hanya akan mengkritiknya karena tidak berhasil menduduki tempat pertama di jenjang olimpiade kali ini.

Sebenarnya Javier sudah muak, bahkan untuk marah dan melawan pun rasanya Javier sudah terlalu malas. Ia hanya memilih untuk menerima segala cacian dan kritikan yang diberikan padanya dengan diam, mengangguk, dan mengiyakan segala ucapan papinya.

Ah sudah lah, mau dilawan pun tidak akan menghasilkan apapun.

Saat ini Javier berada di luar rumahnya, setelah adegan perdebatan dengan papinya, Javier meminta izin untuk keluar rumah hanya untuk sekedar mencari angin, untungnya papinya mengijinkan Javier keluar.

Ia memilih berhenti di pinggir jalan yang cukup ramai, pikirannya tiba-tiba teringat kepada Kayra. Gadis yang secara sadar tak sadar ia tinggalkan saat pulang.

Bodoh. Javier merutuki dirinya sendiri. Seharusnya, semarah apapun dia, ia masih punya tanggung jawab untuk mengantar Kayra pulang. Dengan segera ia melajukan motor kesayangannya, menuju tempat dimana ia meninggalkan Kayra.

Sesampai disana, sudah sepi, dan sudah dipastikan para peserta pun sudah kembali ke tempat asalnya masing-masing. Lagi pula ini sudah malam Javier, astaga.

“Oh, ternyata udah dijemput temennya.” ucap Javier setelah mengecek handphone miliknya, melihat story Instagram milik Kayra. Ternyata Kayra sudah dijemput oleh Juna, orang yang Javier tahu sebagai teman dekat Kayra.

“Bagus deh, ngapain juga gua khawatir dah.”

Katakan Javier gila, ucapan dan tindakannya berbanding terbaik.

Javier memilih untuk kembali ke rumahnya, sudah tidak ada lagi tujuannya. Kayra sudah pulang, dan tanggung jawabnya sudah tidak ada, untuk hari ini.

Saat Javier sampai di dekat komplek perumahannya, tiba-tiba ada satu motor dari belakang yang menyalipnya lalu menghadangnya dengan cepat. Beruntung Javier siap sedia menekan rem, jika tidak mungkin ia sudah menabrak motor aneh di depannya.

Javier yang dingin tentu saja memilih diam, ia membuka helmnya, turun dari motor lalu menatap datar pengendara di depannya. Menunggu siapa orang aneh yang menghadangnya tanpa alasan.

“Juna?” Javier menatap orang di depannya bingung.

Orang yang dimaksud pun menghampiri Javier dengan wajah tak kalah datarnya, menatap mata Javier dengan tajam, seolah akan menghabisi Javier saat itu juga.

“Ngapain lo disini?” tanya Javier sekali lagi.

“Gue? Mau kasih peringatan buat lo.”

BUGH!

Tiba-tiba satu pukulan langsung mengenai wajah tampannya, Javier yang tak siap pun hampir saja tersungkur di lantai.

Javier menatap orang didepannya dengan amarah yang tertahan, “Maksud lo apa? Anjing!”

Mendengar ucapan itu tak membuat Juna takut, justru tawa remeh yang ia berikan kepala Javier. Juna mendekat, menarik kerah Javier dengan kuat, “Masih berani lo nanya maksud gue?”

BUGH!

“Berani-beraninya lo ninggalin Kayra sendirian, Anjing!”

BUGH! Javier membeku. Sekarang ia sadar mengapa Juna semarah ini padanya. Bukan tak bisa melawan, ia memilih menahan dirinya, ia cukup tau diri dan sadar kesalahannya.

“Di saat lo punya tanggung jawab buat nganter dia balik, dengan seenaknya lo pergi gitu aja cuma karna emosi lo yang egois, sialan!”

BUGH!

“Otak lo dimana, anjing!”

BUGH!

Entah berapa pukulan yang Javier dapat. Satu hal yang bisa Javier pastikan, wajahnya akan penuh bekas pukulan, dan mungkin akan membiru esoknya.

“Sorry, Jun, gua ga bermaksud kaya gitu.”

“Ga bermaksud kata lo? Mata gue yang dengan jelas liat lo seenaknya pergi gitu aja setelah ngebentak Kayra. Punya hak apa lo begitu, hah! Jawab anjing!”

BUGH!

Itu pukulan terakhir yang Juna berikan ke wajah tampan Javier, sebelum ia melepas cengkramannya.

“Dingin boleh, tapi bukan berarti juga hati lo ikut dingin. Lo cowo, harusnya tau siapa yang lagi lo hadepin. Lo kasar ke orang lain silahkan. Tapi sekali lagi gue liat lo kasar ke Kayra, jangan harap gue bisa maafin lo lagi.” Juna melakukan hal yang sama dengan yang Javier lakukan tadi, mengucapkan setiap kata dengan penuh tekanan sambil menunjuk wajah Javier, sebelum akhirnya ia memilih pergi meninggalkan Javier yang masih tersungkur di tempat itu.

Mimpi buruk? cw // Kinda NSFW , Kissing


Sejak dua hari yang lalu, Shenna memang menghabiskan waktunya untuk menginap di rumahnya. Hal itu membuatnya tidak bertemu dengan kekasihnya Jidan selama dua hari ini, ditambah lagi shenji; anjing samoyed kesayangan Jidan dan Shenna dibawa oleh Shenna.

Hari ini pukul 11 malam, Shenna meminta abangnya untuk mengantarnya kembali ke apart. Padahal bisa saja ia pulang besok pagi, kan. Namun entah mengapa beberapa jam terakhir perasaan Shenna sangat cemas, ia juga tidak mengerti apa yang ia cemaskan. Tadi sebelum kembali ia sempat menanyai kabar Jidan, dan Jidan mengatakan kalau ia baik-baik saja. Seharusnya Shenna bisa lega, tapi ia memilih untuk tetap kembali.

Bahkan sudah dua jam lamanya ia sudah di apart miliknya sendiri, Shenna masih terlihat gelisah. Jidan belum membalas pesannya setelah ia pulang. Astaga Shenna, kan bisa saja Jidan sudah tertidur, apalagi waktu saat ini sudah menunjukkan 1 pagi.

Shenna memutuskan untuk keluar dari apartnya lalu menuju apart yang ada di depan miliknya, berniat untuk menghampiri Jidan. Bel pertama, belum ada tanda-tanda penghuni di dalamnya menjawab. Bel kedua dan ketiga pun juga sama. Rasa gelisah Shenna sudah melebihi apapun saat ini. Dengan segera ia menekan sandi dari pintu apart Jidan yang memang sudah ia tau sejak dulu.

Gelap. Satu kata yang menggambarkan suasana apartemen milik Jidan. Bahkan saat lampu menyala pun apartemen milik Jidan memang sudah didominasi dengan warna abu-abu, hitam dan putih. Ditambah saat ini tak ada satupun lampu yang menyala, membuat suasananya sedikit menyeramkan.

“Dia ga mungkin keluar jam segini? Tadi dia bilang ga mau kemana-mana kok.” ucap Shenna bermonolog.

Ia memilih untuk menyalakan lampu-lampu yang ada di setiap ruangan, lalu langkah kakinya bergerak menuju kamar tidur kekasihnya.

Betapa terkejutnya Shenna melihat Jidan sedang tertidur, namun terlihat sangat tidak tenang. Di balik selimut, Jidan tertidur dengan wajah yang berkerut, entah mimpi apa yang sedang menghantui tidurnya. Yang Shenna yakin, pasti bukan hal yang baik.

Dengan segera Shenna menghampiri sang kekasih, duduk di pinggir kasur lalu menepuk-nepuk pelan bahu Jidan, “Ji? Wake up, hey, i’m here.

Tak lama setelah itu Jidan bangun dengan tergesa, keringat semakin bercucuran di dahinya, wajahnya terlihat mengeluarkan air mata, nafasnya pun memburu.

Jidan yang baru saja terbangun dan sadar ada Shenna di sampingnya langsung menarik Shenna ke pelukannya. Pelukan yang tak biasa, terasa sangat erat, membuat Shenna sadar kalau laki-laki kesayangannya ini sedang tidak baik-baik saja.

Shenna membalas pelukannya dengan erat, sambil menepuk perlahan punggung sang kekasih, “Gapapa gapapa, aku disini, Ji.”


“Mimpi itu lagi, Ji?”

“Hm.” jawab Jidan dengan suara seraknya sambil menganggukkan kepala.

Saat ini posisi keduanya sudah berbeda dari sebelumnya. Shenna sudah merebahkan tubuhnya tepat di samping Jidan. Tubuh kecilnya pun sudah dipeluk dengan erat oleh Jidan. Dengan kedua wajah yang berdekatan dan saling menatap hangat satu sama lain.

Tangan Shenna terulur, jari lembutnya mengusap permukaan kulit wajah Jidan sambil senyum yang tak pernah luntur dari wajahnya.

Keduanya asik bertatapan satu sama lain sampai Jidan memajukan tubuhnya, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Shenna, membuat Shenna sedikit mendongak untuk memberikan akses kepada Jidan yang sedang mencari tempat nyamannya.

Jidan asik menggesek-gesekkan ujung hidungnya di leher Shenna sambil menghirup wangi kesukaannya dari tubuh Shenna. Sedangkan gadis yang sedang ia peluk sedari tadi menepuk pelan punggung Jidan, sesekali mengusapnya sekaligus menyalurkan ketenangan kepada orang tersayangnya itu.

Jidan kembali menatap Shenna, “Na, jangan tinggalin aku.”

Ucapan itu terdengar sangat pelan dan tulus sampai masuk ke telinga Shenna. Ia tersenyum sambil mengusap surai sang kekasih, “Aku ga kemana-mana, Ji. Aku disini sama kamu.”

“Janji ga pergi?”

Shenna terkekeh pelan, ia memajukan wajahnya lalu mencium kening Jidan, “I promise. Aku ga akan kemana-mana, aku disini sama kamu, aku mau tetep ada di samping kamu sampai kapanpun aku bisa.”

Jidan mengangguk, “Aku juga. Aku ga butuh apa-apa lagi, Na. Kamu, aku cuma mau kamu, dan aku akan selalu mau kamu.”

“Bucin, dasar.”

“Biarin. Kalau perlu aku teriak di keramaian juga gapapa, aku ga masalah kalau harus nunjukin ke dunia kalau aku orang paling beruntung karena berhasil punya kamu di hidup aku.”

“Udah ih! Kamu kenapa tiba-tiba gini?” Shenna menutup mulut Jidan dengan satu tangannya, menahan ucapan-ucapan tulus dari Jidan yang menurut Shenna mungkin sedikit menggelikan.

Shenna paham dengan maksud Jidan, setelah bersamanya, Jidan menjadi orang yang pandai untuk mengeluarkan isi kepalanya. Walau itu hanya berlaku untuk seorang Shenna, karena saat bersama orang lain, Jidan kembali jadi sosok tak tak banyak bicara dan berinteraksi dengan sekitar.

Jidan tak melanjutkan lagi kalimatnya, ia memilih tersenyum sambil menatap kekasihnya. Setelah memastikan Jidan tak melanjutkan kalimat panjangnya, tangan Shenna beralih menangkup pipi Jidan, dan mengusapnya dengan lembut.

Mengusap kening, mata, hidung, pipi, dan sampai titik terakhir. Ibu jarinya mengusap bibir bawah Jidan dengan perlahan namun pasti.

Shenna membeku, tatapannya terkunci pada bibir lembut milik sang kekasih. Jidan tentu sadar dengan tatapan Shenna. Ia membiarkan Shenna menatap bibir miliknya sampai puas, ia tahu apa yang ada dipikiran Shenna. Dan Jidan juga tau kalau Shenna sedang menahan dirinya.

Take it.

“Hm?” jawab Shenna tanpa beralih tatapannya dari bibir Jidan.

Take it, your kiss.

Tanpa sadar, setelah mendengar kalimat yang Jidan ucapkan, Shenna langsung memajukan wajahnya dan mencium bibir Jidan. Tak ada gerakan, hanya Shenna yang menempelkan bibirnya sambil menutup mata. Sedangkan yang menjadi objek, matanya terbuka, menatap wajah sang kekasih yang sedang menciumnya dari dekat.

Selang beberapa detik kemudian kesadaran Shenna kembali. Dengan terburu-buru ia melepas ciuman tersebut, “Maaf.”

Tidak, kalau Shenna pikir Jidan akan membiarkan Shenna begitu saja, itu salah besar. Yang Jidan lakukan justru sebaliknya. Setelah Shenna melepas ciuman keduanya, dengan cepat Jidan menarik pinggang Shenna lebih dekat, sehingga tubuh keduanya sudah saling melekat satu sama lain.

I’m sorry, but i need more.

Kali ini Jidan yang bergerak lebih dulu, mencium bibir lembut Shenna dengan perlahan. Bukan ciuman biasa seperti yang Shenna lakukan, semakin lama Jidan memberikan lumatan-lumatan lembut di bibir Shenna.

Awalnya gadis yang di dalam rengkuhannya ini hanya diam, namun semakin lama Shenna mulai membalas lumatan yang diberikan Jidan. Jidan merubah posisi keduanya sehingga tubuhnya sedikit menindih Shenna. Tangan sang kekasih mengalung dengan santainya di leher Jidan.

Tanpa sadar lumatan keduanya berubah, bukan hanya lumatan biasa namun menjadi lumatan yang saling menuntut satu sama lain. Bukan pertama kali pasangan ini berciuman, namun entah mengapa malam ini ciuman keduanya terasa sangat dalam. Banyak rindu yang tersampaikan secara tersirat dari ciuman keduanya.

Setelah merasa pasokan nafasnya mulai menipis, Shenna menepuk nepuk bahu Jidan sebagai isyarat.

Ciuman keduanya terlepas, Jidan maupun Shenna sibuk mengatur kembali nafas masing-masing dengan tatapan terkunci satu sama lain. Tangan Shenna mengusap leher sampai rahang Jidan dengan lembut namun terasa sensual.

Bukan Jidan namanya kalau ia merasa cukup dengan apa yang baru saja ia lakukan. Lihatlah, lelaki ini kembali melakukan aksinya. Bukan di bibir manis Shenna, kali ini beralih ke leher lembut Shenna.

Wajah tampannya sepenuhnya tenggelam di leher mulus milik Shenna. Dengan telaten ia memberikan kecupan-kecupan lembut. Tak sampai disitu, dengan beraninya kali ini lidahnya justru bergerak lembut di leher Shenna.

Lumatan, hingga gigitan kecil dapat Shenna rasakan. Ia hanya dapat memejamkan matanya, merasakan segala perlakuan Jidan padanya, dengan tangannya yang menekan kepala belakang Jidan seolah memberikan sepenuhnya izin untuk Jidan memberikan tanda di lehernya.

Shenna terlalu menikmati perlakuan Jidan, sampai tak sadar tangan nakal Jidan sudah menyusup ke dalam pakaiannya. Usapan sensual lagi-lagi Jidan berikan kepada Shenna, berawal dari pinggang dan naik sampai ke punggung Shenna.

Tangan Jidan bergerak melepas pengait yang ada di dalam pakaian Shenna, namun setelah itu ia menghentikan gerakannya. Ia sedikit menjauhkan wajahnya, menatap leher Shenna yang bisa ia jamin pagi ini akan meninggalkan banyak bekas kemerahan di leher cantik kekasihnya.

Jidan menatap Shenna sayu.

“Na, kalau kamu ga mau, aku bisa berhenti sekarang.” ucap Jidan dengan suara beratnya yang justru membuat Shenna semakin meremang.

Jidan diam, berusaha sekuat tenaga untuk tidak melanjutkan kegiatannya sebelum memastikan kalau Shenna mengijinkannya untuk bergerak.

Merasa tak ada jawaban, Jidan tersenyum tipis lalu bergerak, berniat bangun dari posisinya yang saat ini menindih sang kekasih.

Baru saja Jidan bergerak, tangan Shenna yang masih mengalung di leher Jidan menahannya. Shenna menggelengkan kepalanya, mengisyaratkan agar Jidan tidak pergi dari posisinya saat ini.

“Ji, lanjutin.”

Are you serious?” tanya Jidan memastikan.

Shenna mengangguk, “Hm, i need you too.” Mendengar jawaban Shenna tentu membuat Jidan tersenyum kemenangan, ia menggesekkan ujung hidungnya dengan hidung Shenna.

Perlahan ia mendekatkan wajahnya ke telinga Shenna.

I love you.” bisik Jidan sebelum akhirnya ia memberikan ciuman lembut pada telinga Shenna.

END

Selamat Bertambah Umur, Javier.


Salah satu rooftop gedung di tengah kota menjadi tempat pemberhentian Javier dan Kayra sore ini. Entah apa sebenarnya tujuan Kayra memintanya untuk tidak kembali ke lokasi lomba terlebih dahulu. Javier memilih untuk menuruti gadis tersebut, karena ia tahu, jika ia menolak pun, Kayra akan tetap merengek padanya.

Kayra turun dari motor Javier lebih dulu, berniat mencari tempat nyaman untuk mereka duduk. Ia meninggalkan Javier yang baru saja berjalan mendekatinya.

“Wow, cantik banget! Gue baru tau ada tempat begini di tengah kota.”

Setelah melihat gadis itu sudah duduk, Javier pun ikut duduk di samping Kayra.

Hening, merupakan suasana mereka sore ini. Javier sibuk memandangi pemandangan kota yang selalu terlihat penuh. Sedangkan Kayra, entahlah, Javier juga tidak peduli dengan Kayra yang sibuk sendiri.

“Ta da!”

Javier menoleh ke arah Kayra, sedikit terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Kayra, menunjukkan cake bertuliskan “HBD” kepadanya. Jadi, cake itu untuk dirinya?

Javier masih terdiam, masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.

“Ih! Kok malah diem? Tiup dulu ini, cepetan! Eh, Tapi jangan lupa make a wish dulu.” ucap Kayra yang sedikit panik melihat lilin yang ada di cake tersebut.

Dengan canggung Javier mengikuti perintah Kayra, sejenak memejamkan matanya mengucapkan beberapa kata, sebelum akhirnya ia meniup lilin yang ada pada cake di depannya saat ini.

“Yeay!”

“Ini? Buat gua?”

Kayra mengangguk, lalu menyerahkan cake tersebut kepada Javier, “Iya dong.”

Kayra membenarkan posisi duduknya, kali ini ia menghadap ke arah Javier yang masih terlihat canggung, sesekali memperhatikan cake di tangannya.

Kayra tersenyum tipis, “Gue gak beli hadiah, sorry ya? Gue baru banget tau tadi kalau lo ulang tahun, itu pun karna gue liat name tag lo. Lo kok biasa aja, sih? Atau jangan-jangan lo juga lupa sama ulang tahun lo sendiri?”

Javier diam, ia tidak menjawab. Javier memilih menoleh, dan membalas tatapan Kayra, membiarkan gadis tersebut asik dengan segala ucapannya.

“Yaudah, pokoknya gitu deh. Intinya, Selamat bertambah umur, Javier. Gue gak pandai merangkai kata begini, semoga tahun ini bisa jadi tahun yang lebih baik lagi dari tahun sebelumnya. Semoga, semua hal yang lo semogakan bisa terwujud deh. Amin.”

Kayra, menjadi pemandangan baru di ulang tahun Javier kali ini. Kayra, menjadi orang pertama yang menghargai setiap hal kecil yang Javier lakukan. Kayra, menjadi orang pertama yang merayakan ulang tahun bersama Javier, hari ini.

“Javi, jangan lupa bahagia, ya? Buat diri lo sendiri.”

Dari sekian banyak manusia di bumi ini, kenapa Kayra yang ada di depannya saat ini? Pertanyaan itu memenuhi isi kepala Javier sekarang.

Dan mungkin, Kayra, jadi orang pertama yang membuat Javier jatuh hati?

✧.* 343. ♡


Shenna melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa, wajahnya terlihat sangat jelas kalau ia sedang menahan emosinya. Dalam hatinya, sudah banyak sekali cacian dan makian yang ditujukan untuk Jidan.

Orang gila, katanya. Bisa-bisanya, dengan entengnya jarinya mengetik kata putus di chat terakhir mereka. Lihat saja, jangan harap Shenna akan memaafkannya karena kelakuan anehnya ini.

Shenna sudah sampai di rumah Jidan, hanya membutuhkan waktu dua puluh menit untuknya sampai karena kecepatannya membawa mobil di perjalanan. Saat sampai di dalam rumah mewah itu, Shenna bertanya kepada salah satu bibi yang ada disana, lalu mengatakan bahwa Jidan sedang ada di rooftop.

Setelah mengucapkan terima kasih, Shenna langsung bergegas naik ke lantai paling atas dari rumah itu. Sepi, tumben sekali tempat ini sunyi. Biasanya ada mami Jidan yang selalu ada di dalam rumahnya. Mungkin saat ini sedang tidak ada di rumah.

Shenna menemukan Jidan yang sedang terduduk dengan santainya di salah satu, dengan pakaian yang sangat rapi. Entah lah, hal tersebut tak sempat dipikirkan oleh Shenna, emosinya sudah terlalu memuncak saat ini.

Jidan yang sadar akan kehadiran Shenna pun menoleh, dan langsung berdiri. Tatapannya lurus, melihat Shenna yang berjalan dengan Cepat ke arahnya.

“Na.”

BUGH!

“Aw!”

Shenna benar-benar melakukan apa yang sudah ada dipikirannya sejak tadi. Ia memukul lengan Jidan dengan seluruh tenaganya, membuat orang yang dipukulnya langsung meringis sambil mengelus tangannya sendiri.

“Sakit, ish. Kenapa langsung mukul, sih?”

“Orang gila!”

“Apa?” ucap Jidan dengan berusaha menetralisir ekspresinya menjadi datar lagi.

“Lo, gila! Bercandaan lo gak asik, Ji. Gue gak suka ya.”

Jidan memberikan tatapan bingung ke arah Shenna, dengan mengerutkan alisnya. “Aku ada bilang kalau ini bercanda?”

“Apa sih.”

“Kan aku bilang mau putus. Aku bosen pacaran sama kamu.”

BUGH!

Lagi-lagi Jidan mendapatkan satu pukulan kuat di lengan kanannya. “Sumpah, ya. Gue beneran marah sama lo! Enteng banget mulut lo ngeluarin kata-kata kayak gitu?”

Jidan hanya menjawab dengan menaikan kedua bahunya, seolah tidak peduli dengan ucapan Shenna.

“Ji, mau ini beneran atau lo cuma mau ngeprank gue, gue bakal tetep marah sama lo.

Lo pikir, kita pacaran baru satu bulan? Nggak gila! Kita udah mau dua tahun, segampang itu kata putus keluar dari mulut lo? Gak, gue gak mau. Terserah lo mau bilang apa, pokoknya gue gak mau.” ucap Shenna dengan memberikan tatapan tajam ke arah Jidan.

“Udah marahnya?”

Shenna tidak menjawab, mereka berdua saling bertatapan satu sama lain selama beberapa waktu. Sebelum akhirnya Jidan tersenyum, menarik lengan Shenna, membawa gadis tersebut ke pelukannya.

Belum ada suara Jidan lagi terdengar. Ia masih asik merasakan detak jantung Shenna yang begitu cepat, sangat terasa sampai membuat Jidan lagi-lagi tersenyum.

“Tuh kan! Lo ngerjain gue! Marah banget, gue gak suka kaya gini, Ji. Bercandaan lo gak asik. Argh!”

Kali ini punggung Jidan yang menjadi sasaran pukulan Shenna, tanpa sadar air mata Shenna terjatuh, dan membuat Shenna semakin terisak di dalam pelukan Jidan.

Mendengar tangisan Shenna, membuat Jidan panik. Ia melonggarkan pelukannya, lalu menangkup pipi Shenna.

“Eh, eh, kok nangis?”

Pertanyaan itu justu membuat Shenna semakin menangis. Lagi-lagi Jidan memeluknya dengan erat.

“Maaf, maaf, aku nggak bermaksud gitu, Na. Udah, jangan nangis lagi.”

“Ngeselin. Aku pikir kamu beneran mau mutusin aku. Aku panik selama perjalanan kesini. Aku takut, takut banget kalau omongan kamu itu serius. Aku nggak mau, please, jangan gini lagi. Aku nggak suka, Ji.”

“Padahal tuh, aku belum selesai ngomong, Na.”

“Hm?”

Shenna sedikit mendongakkan kepalanya untuk menatap Jidan, pandangan mereka bertemu, Jidan sedikit terkekeh melihat wajah Shenna yang habis menangis itu.

Tangan kanan Jidan bergerak mengambil sesuatu di kantong jas nya, mengeluarkan sebuah ring box, membukanya, lalu mengarahkan kepada Shenna.

“Ini?” tanya Shenna bingung.

Jidan menganggukkan kepalanya, “Aku bilang mau putus, aku bilang bosen pacaran sama kamu, bukan karna aku mau ninggalin kamu, Na.” Jidan meraih tangan Shenna, lalu menggenggamnya dengan erah, dengan ibu jarinya mengusap punggung tangan Shenna.

Jutaan kata terima kasih dan ungkapan kata-kata bahagia tidak akan cukup untuk mendeskripsikan Jidan yang sangat bersyukur memiliki Shenna saat ini.

Sudah hampir dua tahun, mereka bertemu, menjadi musuh, teman, lalu menjadi sepasang kekasih yang masih bertahan sampai saat ini. Entah sejak kapan Jidan memiliki ide ini. Namun, setiap bersama Shenna membuatnya semakin bahagia, dan membuatnya berpikir kalau ia harus jadi orang terakhir yang menjaga Shenna seperti ini.

Ia mau Shenna, dan ia sudah memilikinya.

“Aku nggak pinter buat ungkapin kata-kata kayak gini, Na. Tapi, kamu harus tau kalau aku selalu bersyukur, selalu bahagia bisa punya kamu, dan bisa ngejalanin hari-hari aku bareng kamu. Aku mau kita nggak sampai disini aja, aku mau kedepannya kita terus bareng. Wisuda bareng, kerja bareng, dewasa sama-sama, dan menua sama-sama. Na, be my fiancé?” ucap Jidan dengan nada lembutnya, dengan senyum yang masih berkembang di bibirnya.

Shenna membeku, bibirnya bungkam. Bukan karena apa, hanya saja, ia benar-benar tidak menyangka Jidan akan melakukan hal ini padanya.

“Ji? Kamu serius?

Jidan mengangguk, “Maunya sih, langsung nikahin kamu aja. Tapi kita masih kuliah, aku nggak mau hubungan kita jadi hal yang mengganggu pendidikan kita kedepannya. Jadi, tunangan dulu mau kan?”

Shenna ikut tersenyum, tanpa berpikir panjang ia langsung menganggukkan kepalanya.

“Mau, Ji. Mau banget. Ayo sama-sama terus sampai seterusnya.”

Mendengar jawaban itu, Jidan semakin tersenyum. Ia mengambil cincin yang ada di tangannya, lalu memasangkan cincin tersebut ke jari manis milik Shenna.

Semesta, lihatlah dua sejoli ini. Dua orang yang bertemu karena hal yang tidak menyenangkan, menjadi semakin dekat, lalu berubah lagi menjadi saling memiliki, dan sampai pada saat ini yang saling berjanji untuk terus bersama sampai seterusnya.

Jidan dan Shenna tak butuh apa-apa lagi. Mereka berdua selalu merasa cukup satu sama lain, selalu saling melengkapi satu sama lain, selalu saling memahami satu sama lain. Benar kata Shenna dulu, mau sebanyak apapun masalah yang akan datang dan mengganggu hubungan mereka berdua, hal itu tidak akan berpengaruh apa-apa.

Alasannya hanya satu. Jidan hanya mau Shenna, Shenna hanya mau Jidan, dan itu akan bertahan sampai kapanpun.