Special from Cornerstone; Here For You
Bel pintu apartemen milik Shenna sudah berbunyi tiga kali, Jidan Acturus pelakunya. Awalnya Jidan pikir mungkin saja Shenna masih belum tidur, apalagi kekasihnya itu baru mengirimkan pesan sekitar 20 menit yang lalu. Sayangnya, sampai saat ini belum ada respons yang ia dapat.
Lelaki berkaos putih dengan celana selutut itu akhirnya menekan pin pintu apartemen kekasihnya, lalu masuk ke dalam.
Gelap, lampu yang mati menjadi pemandangan pertamanya saat masuk. Apakah kekasihnya sudah tidur?
“Na?” Panggilnya, namun tak kunjung terdengar jawaban. Jidan mulai menyalakan beberapa lampu yang ada di apartemen kekasihnya itu, setidaknya ada cahaya yang menerangi ruangan. Ia sedikit terkejut melihat ruang tengah dan dapur yang berantakan, tak biasanya Shenna seperti ini. Sesibuk itu kah kekasihnya, sampai tumben sekali tak sempat bersih-bersih.
Langkah kakinya bergerak menuju salah satu ruangan, ruangan khusus yang menjadi tempat favorit Shenna untuk belajar. Benar saja, Shenna sedang tertidur di meja belajarnya. Tumpukan buku tebal masih berserakan di meja sampai di lantai, bahkan komputer dan Ipad yang ada di meja pun masih menyala.
Jidan menghela nafasnya, kekasihnya bekerja terlalu keras untuk mengerjakan tugas akhirnya.
Ia mendekat, perlahan mengambil buku-buku yang ada di dekat Shenna berniat untuk merapikannya. Begitu hati-hati, tak ingin kegiatannya mengganggu tidur kekasihnya.
Buku selesai dirapikan, beberapa sampah sisa cemilan sudah dibuang, komputer dan Ipad pun sudah dimatikan. Ruangan itu terlihat sedikit lebih rapi dari sebelumnya. Tinggal Shenna yang perlu ia pindahkan dari ruangan ini.
Jidan memposisikan dirinya sedikit berjongkok menghadap ke kekasihnya yang matanya masih tertutup. Tiba-tiba saja senyum terukir di bibirnya.
“Cantik,” puji Jidan sambil menatap Shenna. “Ketiduran begini aja kamu cantik banget, Na.”
Tangannya terulur untuk mengusap wajah Shenna, merapikan rambut yang menutupi wajah cantik kekasihnya. Mengusap bagian bawah mata sang kekasih, “Kantung matanya sampe keliatan gini. Kasian banget cewek gua keliatan capek banget.”
Puas memandangi wajah gadis di depannya, sambil terus mengusap pipi kekasihnya ia membangunkan Shenna perlahan. “Na … Sayang, bangun dulu, yuk?” Panggilnya dengan lembut, “Pindah ke kamar, ya? Jangan tidur disini, nanti badan kamu malah sakit.”
Shenna mulai membuka matanya sedikit, lalu dipejamkan lagi. Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Ngantuk, Ji. Nanti aja,” jawabnya dengan suara kecil yang hampir tak terdengar.
“No, no. Yang ada, nanti kamu bangun tidur badannya sakit semua.” Jidan berusaha membujuk, namun sepertinya usahanya tidak berhasil.
Ia menggoyangkan badan Shenna lagi, membuat gadis itu mau tak mau membuka matanya lagi. “Sini, aku gendong ke kamar.”
Kali ini Shenna menurut, ia mendekat ke Jidan lalu segera mengalungkan kedua tangannya ke leher sang kekasih. Membiarkan Jidan mengangkatnya. Kakinya menyusul mengalung di pinggang Jidan, wajahnya ia benamkan di antara ceruk leher Jidan.
Jidan tak terganggu dengan Shenna, ia membenarkan posisinya lalu membawa Shenna keluar dari ruang belajarnya menuju ke kamar.
Baru sampai ruang tengah, secara tak sengaja Jidan mendengar perut Shenna berbunyi. Sontak hal itu membuat Jidan tertawa pelan.
“Laper, ya? Pasti tadi kamu lupa makan. Mau makan dulu, sayang?” Tanyanya pada Shenna yang ada di gendongannya. Belum ada respon. Jidan bergerak ke arah sofa, berniat mendudukkan Shenna ke sofa. “Aku masakin sesuatu, ya? Tunggu di sofa aja.”
Belum sempat Jidan menurunkan Shenna, gadis itu tiba-tiba mengeratkan pelukannya di leher Jidan. “Jangan turunin aku, aku masih mau peluk kamu,” bisiknya.
“Iya, nanti peluk lagi. Makan dulu. Itu perut kamu udah bunyi gitu.” Shenna semakin mengeratkan pelukannya, ia menggeleng. “Gak mau. Jangan dilepas dulu. Mau peluk kamu dulu yang lama.”
Jidan tersenyum dengan tingkah Shenna. Kalau sudah seperti ini, bagaimana caranya ia menolak. Akhirnya ia memilih untuk mengalah. Justru Jidan yang mendudukan dirinya di sofa, membiarkan kekasihnya duduk di pangkuannya. Ia membenarkan posisi Shenna agar gadis itu merasa nyaman.
“Manja banget, tumben?”
“Kangen.”
“Kangen siapa?”
“Kamu.”
Jidan tersenyum jahil, “Aku? Siapa yang kangen aku?”
Terdengar bunyi pukulan pelan di punggungnya, sudah pasti Shenna pelakunya.
“Ga usah iseng!” Tentu Shenna sadar, orang yang sedang ia peluk ini sengaja menjahilinya.
“Hahaha, kan aku nanya.”
“Aku … Aku kangen kamu.”
Jidan mengusap punggung Shenna, sesekali mengecup kening sang kekasih. “I miss you too, cantik.” Tangannya mulai memberikan tepukan-tepukan kecil pada punggung Shenna. “Gimana kerjaannya? Udah sampe mana?”
“Masih stuck di bab tiga, Ji. Pusing banget aku ngerjainnya.”
“Masih banyak banget?”
Shenna mengangguk.
Sepertinya gadis itu terlalu nyaman dengan posisinya saat ini, apalagi wajahnya yang berada di ceruk leher Jidan membuatnya dapat dengan jelas mencium wangi khas sang kekasih. Tak jarang Shenna memberi kecupan kecil pada leher Jidan, tangannya pun bergerak mengusap sisi lain dari leher sang kekasih.
“Ji.”
“Hm?”
“Aku takut ga bisa ikut wisuda periode depan.”
Jidan sedikit melirik ke Shenna, kepalanya terulur mengusap rambut sang kekasih. “Na, bahkan kalau kamu ikut yang periode selanjutnya lagi pun, kamu tetep termasuk lulus tepat waktu.”
“Tapi kamu udah hampir selesai.”
“Kamu begini karna liat aku?”
“Bukan gitu, tapi … aku mau lulus cepet juga.”
“Kalaupun aku duluan dari kamu, aku pasti tetep nungguin kamu. Lagian aku juga gak buru-buru. Emang kenapa kamu mau lulus cepet?”
“Nikah.”
“Hah?”
“Aku mau nikah, sama kamu.”
Percayalah, saat ini Jidan sedang berusaha mati-matian untuk tidak tertawa gemas mendengar jawaban Shenna. Dari semua jawaban yang mungkin ia dengar, tak pernah menyangka Shenna akan menjawab seperti itu.
“Kamu mau nikah sama aku?”
Mendengar pertanyaan itu membuat Shenna reflek menegakkan tubuhnya. Menatap Jidan dengan tajam, tiba-tiba wajahnya terlihat cemberut. “Kok kamu nanya nya gitu? Emang ga mau nikah sama aku?”
Jidan menggigit bibir bawahnya sendiri, tak tahan dengan kegemasan yang sedang ia lihat.
“Jawab, Ji!”
Tangannya mulai menangkup pipi Shenna, mengusap gemas pipi gadis itu. “Na, listen to me. Kamu ga perlu terlalu maksa diri terlalu keras buat ngerjain ini semua. Pelan-pelan, Na. Satu per satu, pasti semuanya bisa diselesain.”
“Nikah sama kamu? Kan biasanya aku yang selalu bahas itu. Masa sekarang malah ga yakin sama aku? Tadi bukannya kamu yang bilang ke aku mau lanjut S2? Kenapa sekarang bilangnya mau cepet-cepet?”
“Justru itu, aku mau cepet-cepet selesain ini. Sebisa mungkin aku lulus bareng kamu. Kalaupun misalnya aku beneran lanjut, seenggaknya kamu ga nunggu aku terlalu lama. Aku takut.”
Jidan merapikan rambut-rambut kecil Shenna, lalu menyelipkannya di belakang telinga Shenna. “Hm? Takut?”
“Takut kamu capek nunggu aku, Ji.”
“Kenapa bisa mikir gitu?”
Shenna menggelengkan kepalanya, ia menunduk. Sedikit takut setelah mengucapkan kalimat barusan. “I don’t know, aku cuma…”
Jidan mengangkat kembali wajah Shenna agar gadis itu menatapnya, kedua tangannya menangkup wajahnya, memberikan usapan lembut di pipi gadisnya. “Na. Mau kamu lulusnya cepet atau engga sekalipun, kalau emang udah jalannya buat kita berdua, semuanya pasti bisa diselesain dengan baik, kok. Aku ga akan maksa kamu buat harus selesaiin semuanya secepatnya. Mau nanti akhirnya aku yang duluan lulus, mau setelah ini kamu lanjutin lagi pendidikan kamu, aku bakal tetep nungguin kamu.”
“Beneran, ya?”
Jidan mengangguk dengan yakin, sebelum akhirnya ia mengecup bibir Shenna dengan cepat. “Don't worry. I will always be here, with you.”
“Ih! kok tiba-tiba cium aku?”
“Dari tadi juga pengen aku cium, cuma masih ketahan aja.”
“Heh!”
“Apa sayang?”
“Ngeselin!” Shenna mengucapkan kalimat tersebut, namun tangannya justru mengalung lagi di leher Jidan.
“Iya, aku emang keren.”
“Ji.”
“Hm?” Jidan menatap hangat ke arah Shenna.
Shenna tiba-tiba mendekatkan wajahnya, kali ini ia yang lebih dulu mengecup bibir Jidan. Sedikit lebih lama dari yang Jidan lakukan sebelumnya. “I love you.”
Jidan tersenyum, “I love you too.”
“Prove it.”
“What?”
“You said you love me too. Prove it, scream it to the world.”
Sebenarnya Shenna mengucapkan kalimat itu tanpa niat apapun. Ia hanya mengatakan apa yang ada di pikirannya.
Shenna pikir, Jidan akan berteriak di ruangan itu untuk membuktikan apa yang baru saja dikatakan. Namun yang terjadi justru Jidan menarik Shenna, lalu mendekat ke telinganya. “I love you,” bisik Jidan.
Shenna menoleh, menatap wajah Jidan yang saat ini hanya berjarak 10 senti dengannya. “Why did you whisper it to me?”
“Because you’re my world.”
Shenna tak bisa menahan ekspresinya. Pipinya langsung memerah, Jidan menyadari itu walau lampu yang menyala tak begitu terang. Jelas Shenna salah tingkah dengan perkataan Jidan.
Shenna mengecup bibir Jidan, tak hanya sekali. Ternyata tak sampai disitu, kali ini ia memberikan begitu banyak kecupan di wajah Jidan, dahi, mata, hidung, pipi. Ia berhenti sejenak, menatap bibir Jidan yang sudah sedikit basah karena ulahnya, wajahnya mendekat kembali dan mencium bibir Jidan.
Tentu Jidan tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, tepat setelah Shenna mempertemukan bibirnya, Jidan menahan tengkuk Shenna. Membuat kecupan itu tak hanya menjadi sebuah kecupan, namun menjadi sebuah ciuman yang lagi-lagi berubah menjadi lumatan lembut.
Shenna tak menolak, tangannya kembali mengalung di leher Jidan. Ia mulai membalas lumatan yang ia dapat, lumatan-lumatan lembut yang semakin lama terdengar suara decakan yang menggema di ruang tengah apartemen Shenna.
Merasa pasokan nafasnya mulai menipis, ia menepuk bahu Jidan perlahan. Yang diberi tanda pun paham dan segera melepas tautan.
Keduanya saling menatap satu sama lain, Jidan membiarkan Shenna mengatur nafasnya. Ia sedikit terkekeh, tangannya mengusap bibir basah Shenna. “Cantik.”
“Apa?”
“Kalau abis ciuman cantik banget. Cium terus aja kali, ya?”
Shenna memukul bahu Jidan, “Ngaco kamu!”
Yang dipukul pun hanya tertawa. “Jadi ini mau makan, atau mau tidur nih?”
“Aku gak laper. Mau tidur aja.”
“Ya udah, gih ke kamar.”
“Kok gitu?”
“Kok gitu apanya?”
Shenna merapatkan tubuhnya lagi ke Jidan, memeluk leher sang kekasih lebih erat dari sebelumnya. “Anterin.”
“Mau tidur sama aku?”
Shenna mengangguk.
“Yakin? Tidurnya sambil aku cium-cium, gapapa?”
“Jidan!”