archivecapella

✧.* 338. Selamat Bahagia, Teman Kecil.


Flashback on, 6 tahun yang lalu.

Gadis cantik, dengan seragam putih biru khas anak sekolah menengah pada umumnya, sedang berjalan sendirian. Entah apa yang sedang ia cari, ia hanya melangkahkan kakinya tanpa tujuan.

Kysha namanya.

Lingkungan baru ini terasa sangat asing untuknya. Kysha, dan keluarganya harus pindah ke kota ini karena kepentingan pekerjaan papanya.

Hal tersebut tentu saja membuat Kysha mau tak mau harus ikut, dan membuatnya harus bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Entah sampai kapan Kysha akan ada disini, yang pasti, Kysha berharap akan ada hal yang membuatnya merasa senang untuk tinggal disini.

Saat ini, Kysha sedang duduk dan berteduh di salah satu pohon rindang yang ada di tempat itu. Panasnya siang ini, tertutupi dan berubah menjadi sejuk karena pohon besar ini. Sambil menikmati angin yang berhembus di sekitarnya, Kysha menyandarkan dirinya, sambil menutup matanya.

“Halo? Nama kamu Kysha, kan?”

Sapaan tersebut membuat Kysha sedikit terkejut, ia membuka matanya dan menoleh ke arah sumber suara. Di sampingnya, sudah ada laki-laki yang memakai seragam yang sama dengannya, sedang duduk dan menyandarkan tubuhnya di pohon rindang itu, sama seperti kysha. Entah sejak kapan ia disana.

“Kamu?”

Anak laki-laki itu menegakkan tubuhnya, menghadap ke arah Kysha, lalu mengulurkan tangannya.

“Kenalin, aku Jidan Acturus. Kalau kamu belum tau, kita satu kelas dan aku duduk di belakang kamu.”

“Ah iya, pantes aja kayak nggak asing. Aku Kysha.” jawabnya sambil membalas uluran tangan dari Jidan.

“Kysha, lucu. Aku panggil Sasa aja, boleh?”

Kysha langsung tertawa kecil mendengar pertanyaan itu, kenapa bisa orang di depannya ini terlintas di pikirannya untuk memanggilnya Sasa, ada-ada saja. Namun, tentu saja Kysha hanya mengangguk dan tersenyum ke arah Jidan.

“Tentu. Panggil aku senyaman kamu aja, Jidan.”

“Kenapa disini sendiri?”

“Tadinya aku cuma jalan tanpa tujuan, sekalian mengenal lingkungan disini. Terus ketemu pohon ini, yaudah deh, aku sekalian istirahat disini. Kamu sendiri, kenapa disini?”

“Aku emang selalu disini tiap pengen sendiri, Sa.”

“Oh, ya? Maaf kalau gitu.”

Jidan merenyit bingung, “Maaf?”

“Maaf mengambil tempat nyamanmu disini.”

“Hahaha, gapapa santai aja. Disini tempatnya bikin tenang, kan? Jadi wajar aja kalau ada yang nyaman juga disini.”

Kysha memilih diam, dan menikmati angin siang hari itu lagi. Ia setuju dengan yang dikatakan Jidan, tempat ini tenang. Walaupun sunyi, entah mengapa disini tidak akan membuat penghuninya merasa kesepian. Sedangkan Jidan, tanpa sadar ia asik menatap gadis di sampingnya itu. Lucu, katanya.

“Belum punya teman?”

Kysha mengangguk.

“Kalau gitu, jadi temanku, mau?”

Tentu saja hal tersebut membuat Kysha langsung menampilkan senyumnya, ia mengangguk dengan semangat.

“Mau!”

Flashback off.


Di tempat yang sama, namun di waktu dan di cerita yang berbeda. Dua orang yang pernah saling berkenalan di tempat ini, akhirnya bertemu lagi.

Sudah sepuluh menit sejak Jidan sampai di tempat ini. Pohon besar dan juga rindang yang Jidan pikir, pohon ini sudah tidak ada lagi, entah karena sudah tua, atau sudah di tebang oleh orang sekitarnya. Ternyata dugaannya salah, pohon ini masih berdiri dengan sangat kokoh, lingkungannya terlihat sangat bersih. Tempat ini masih sangat dijaga oleh pemiliknya.

“Apa kabar?”

Jidan, orang pertama yang membuka suara di tempat itu.

Kysha terkekeh pelan, “Kita hampir tiap hari ketemu, Jidan.”

“Bukan sebagai Kysha, tapi sebagai Sasa, Ky.”

Panggilannya sudah berbeda. Kysha sempat berpikir, akankah ia akan dapat mendengar panggilan Sasa lagi, ternyata tidak. Jidan menyebut nama itu, namun tetap memanggilnya dengan panggilan “Ky.”

“Baik, masih selalu baik.”

“Selama ini sering kesini?”

Kysha mengangguk, “Iya.”

“Kenapa?”

“Kenapa apanya?”

“Kenapa dipendam sendiri? Padahal lo bisa manggil gua waktu kita ketemu lagi. Walaupun gua lupa, setidaknya lo bisa ingetin gua, kan?”

“Hahaha, udah sempet ada niat itu, Dan.”

“Terus?”

“Kita ketemu waktu ospek. Awalnya gue gak sadar kalau itu lo. Sampai waktu lo debat diskusi sama Shenna, disitu gue sadar kalau gue pernah kenal lo. Gue berencana mau nyapa lo kok. Tapi ya gitu, gue berusaha beraniin diri dulu.

Sampai akhirnya gue tau kalau lo deket sama Shenna, sahabat cewe satu-satunya yang gue punya sekarang. Disitu gue mutusin buat tahan itu sendiri. Gue tau kok, padahal bisa aja kita temenan kayak biasa. Cuma ya, gue gak mau aja, hal kecil ini malah jadi masalah buat hubungan kalian berdua.

Belum lagi waktu itu masalah Ellie, kan? Gue juga yakin hubungan kalian berdua setahun ini gak mudah. Makanya gue milih buat pendem ini sendiri aja. Toh, nggak akan berpengaruh apa-apa buat kita berdua.”

Jidan mengangguk paham, dalam hatinya ia berterimakasih kepada perempuan yang ada di sampingnya ini. Senang rasanya bisa mengenal orang baik seperti Kysha.

“Waktu itu lo tiba-tiba hilang, bahkan tanpa pamitan sepatah kata apapun.”

“Dan, Sorry, waktu itu gue-”

“Gapapa, gua udah tau semuanya, Ky. Paham kok.”

“Sejak kapan?”

“Sejak kapan apanya?”

“Sejak kapan lo inget gue?”

“Setahun yang lalu. Kalau lo tanya alasan gua diem, jawabannya akan hampir sama dengan jawaban lo tadi.”

Kali ini Kysha yang mengangguk.

“Ky, lo inget dulu kita pernah punya janji disini?”

“Iya. Janji buat bareng-bareng terus sampai kapanpun. Hahaha, lucu banget ya kita dulu, Dan.”

“Iya. Maaf karna kita gak bisa wujudin janji itu. I mean, kita tetep bareng-bareng, tapi bukan sesuai janji kita dulu.”

“Kenapa harus minta maaf, deh? Jidan, gue yakin, kita berdua emang udah punya jalannya masing-masing.”

Jidan mengangguk, “Makasih banyak ya, Ky.”

“Buat?”

“Makasih udah mau sangat paham. Makasih juga udah inget gua, sebagai teman kecil lo.”

“Makasih juga udah inget gue. Gue pikir, sampai seterusnya gue bakal inget ini sendiri.”

Tak lama setelah itu, Jidan bangkit dari posisinya.

“Lo udah denger dari Jovan, kan?”

“Nanti malem, ya?”

Jidan mengangguk, “Jangan lupa dateng, ya?”

“Iya, pasti kok.”

Jidan membenarkan posisinya, menatap Kysha dengan senyum tipis terlihat di bibir manisnya. “Semoga lo bahagia, ya, Ky. Dengan jalan dan takdir lo sendiri.”

Itu, ucapan terakhir Jidan, sebelum akhirnya dia pamit meninggalkan Kysha yang masih terdiam di bawah pohon rindang itu. Matanya masih setia menatap punggung Jidan yang sudah hampir tak terlihat lagi, lalu ia tersenyum.

Bukan seperti kisah lainnya, yang memiliki takdir untuk bersama dengan orang yang pernah ditemui di masa lalu dan sempat membuat kenangan indah. Jidan dan Kysha, justru memiliki takdir yang berbeda. Mereka ditakdirkan untuk bertemu kembali, setelah bertahun-tahun. Bukan untuk mengukir cerita baru bersama. Namun, untuk menjadi sepasang teman kecil, yang akan selalu saling mendukung satu sama lainnya.

Selamat bahagia, teman kecil.

✧.* 316 Jidan dan Caranya Sendiri.


Ting! Tong!

Sudah tiga kali Jidan menekan bel yang ada di pintu apartemen milik Shenna, namun belum juga ada tanda-tanda gadisnya akan membukakan pintu untuknya. Akhirnya, Jidan memilih untuk menekan pin yang sudah ia hafal sejak lama, lalu masuk ke dalam ruangan tersebut. Mungkin Shenna sedang tertidur di kamarnya.

Bukan Jidan namanya kalau ia datang hanya dengan tangan kosong. Ditangan kanannya, sudah terdapat banyak cemilan dan tak lupa juga coklat yang ingin ia berikan kepada sang kekasih.

Dan di tangan kirinya, terdapat sebuah bantal, mungkin? Ah iya, ternyata benar, itu bantal penghangat. Jidan bertanya kepada Kysha mengenai hal yang dapat membantu saat perempuan sedang mengalami datang bulan, dan Kysha merekomendasikan barang tersebut. Tentu saja Jidan langsung mencarinya saat perjalanan pulang tadi.

Jidan mengetuk pintu kamar Shenna. Benar saja, Shenna sedang tertidur dengan posisi memegang perutnya. Jidan sedikit meringis melihat gadisnya. Sesakit itu ya ternyata.

Sebelum ia menghampiri gadisnya, tak lupa ia menghangatkan bantal yang sudah ia bawa, sesuai dengan Instruksi saat ia membeli. Jidan duduk di pinggir kasur, lalu mengusap lembut surai dari sang kekasih.

“Sakit banget, ya, perutnya?”

Shenna yang sadar Jidan sudah ada di sampingnya hanya mengangguk lemah.

“Sebentar ya.”

Setelah bantal penghangat sudah siap, Jidan mengambilnya, lalu beranjak naik ke kasur Shenna. Jidan memposisikan bantal hangat tersebut ke perut Shenna, sebelum akhirnya ia juga mendekat dan memeluk sang kekasih.

Dengan penuh kasih, Jidan memeluk Shenna dengan erat, mencoba memberikan ketenangan kepada gadisnya yang sedari tadi merintih karena sakit yang dirasakan di bagian perut Shenna.

Mengelus punggung Shenna, tak lupa mengusap lembut kepala bagian belakangnya. Jidan beberapa kali mengecup pucuk kepala dari gadisnya itu. Sedangkan Shenna, ia hanya menutup matanya mencoba menerima kehangatan di bagian perutnya, dan pelukan hangat dari lelaki kesayangannya ini.

“Perut, udahan dong sakitnya. Kasian nih pacar aku jadi kesakitan gini. Sini sakitnya ke aku aja, jangan ke pacar aku. Cepet membaik, ya, perut. Aku mau liat pacar aku galak lagi, nggak seru nih kalau diem-diem gini.” ucap Jidan dengan pelan, dan tangannya sambil mengusap lembut perut Shenna.

Tanpa sadar, senyum langsung terukir di bibir tipis Shenna. Ia sedikit terkekeh dengan kelakuan konyol Jidan, namun kelakuan anehnya ini, justru membuatnya lebih tenang dari sebelumnya.

Jidan selalu memiliki caranya sendiri membuat Shenna luluh. Selalu paham dengan apa yang dirasakan Shenna. Dan Jidan selalu tau, apa yang Shenna butuh, bahkan kadang hal yang Shenna tak pikirkan, ya seperti sekarang ini.

✧.* 300 New Year's eve.


Hari ini, hari terakhir sekaligus hari yang akan menjadi penutupan untuk tahun ini. Seperti yang sudah direncanakan oleh Axelino sebelumnya, ia mengadakan acara di rumahnya. Sebenarnya bukan acara penting yang harus didatangi, hanya acara kecil untuknya dan teman-temannya, untuk berkumpul sekaligus merayakan malam tahun baru secara bersama-sama.

Rumah tiga lantai, dengan dekorasi yang lebih banyak terdapat kaca di setiap bagiannya, dengan rooftop pada bagian lantai paling atas. Luas rumah milik keluarga ini memang tak seluas kediaman milik Jidan, hanya saja desain dari rumah ini memiliki ciri khusus membuatnya terlihat megah dan mewah.

Dibagian rooftop yang luas ini, terdapat bagian yang tertutup atap, namun separuh bagiannya dibiarkan terbuka, sehingga saat di siang hari, teriknya matahari dapat sangat terasa.

Kembali ke kegiatan hari ini. Sudah banyak yang datang ke rumah milik kekasih Jidan ini. Jidan sendiri pun sudah datang sejak pagi. Ya, memang dia kelewat rajin. Alasannya sih, ingin membantu Shenna menyiapkan persiapan kegiatan mereka malam ini. Namun semua itu hanya bohong Jidan saja. Sejak pagi, Jidan lebih banyak bermain ps bersama Axelino.

Ah iya, ngomong-ngomong soal Axelino. Hari ini Axel pertama kalinya membawa perempuan, alias kekasih Axelino yang baru saja resmi beberapa waktu yang lalu. Sempat terjadi kehebohan di rumahnya, pasalnya, Axel tidak pernah membicarakan mengenai relationshipnya selama perkuliahan ini. Tentu saja, begitu Axel mengenalkan pacarnya ke kedua orang tuanya, membuat papa mama Shenna sedikit terkejut, termasuk Shenna dan juga jidan yang ada di tempat itu.

Bellissa namanya, satu jurusan dan juga satu angkatan yang sama dengan Axelino. Ternyata, keduanya memang sudah dekat sejak lama. Namun, baru saat ini Axel berani mengajak Bellissa ke tahap yang lebih serius.

Kata Shenna sih, Bellissa itu cantik, dari wajahnya terlihat sangat kalem. Walaupun Shenna tidak tau aslinya bagaimana saat bersama Axel.

Teman-teman Axelino, Ricko, Jarren, dan Zaky baru saja sampai di tempat tersebut. Termasuk Marvel, Jovan, Jarvis, dan juga Razan. Mereka mulai sibuk dengan kegiatannya, membantu menyiapkan makanan dan juga dekorasi untuk di rooftop tersebut.

Ada Kysha juga yang sudah datang bersama dengan Jovan. Dua orang yang akhir-akhir ini terus terlihat bersama, namun setiap kali ditanya tentang hubungan keduanya, Jovan selalu menjawab “Sabar dong, bro. Santai, pelan-pelan aja dulu.”

“Jan, Jiel kemana? Kok belum keliatan?” tanya Shenna saat menghampiri Razan yang sedang duduk di salah sofa yang ada di tempat tersebut.

“Tadi ngabarin di grup, katanya masih di jalan.”

“Oalah, gue belum sempat cek hp, jadi ga tau.”

“Paling bentar lagi juga sampe kok, Shen.”

“Iya, sip. Gue ga sabar, dia bawa pacarnya nggak ya? Penasaran siapa pacarnya Jiel.”

“Lah? Lo nggak tau, Shen?”

Shenna langsung menatap bingung ke arah Razan, lalu menggeleng. “Engga, gue nanya Kysha, tapi katanya nanti juga tau sendiri.”

“Gue pikir lo udah tau.”

“Bentar. Jangan bilang, lo udah tau, Jan?”

Razan mengangguk dengan santai, membuat Shenna langsung melotot ke arah sahabatnya ini. “Kok! Kok cuma gue yang gak tau apa-apa sih. Curang banget.”

“Gue juga baru tau kemarin, sih. Lagi pergi bareng Jiel, terus pas dia ketemu si cewe, mereka kayak orang pacaran, eh ternyata bener pacarnya.”

“Siapa? Ish, kenapa gak ada yang cerita ke gue.”

“Tuh orangnya.” jawab Razan sambil menunjuk ke arah pintu dari tempat tersebut.

Disana, terlihat yang katanya sepasang kekasih sedang berjalan bersama, yang baru saja datang untuk mengikuti acara mereka hari ini. Tentu saja melihat dua orang tersebut membuat Shenna membeku dan juga speechless.

Raziel, dengan perempuan cantik di sampingnya baru saja memasuki kediaman Shenna, menyapa beberapa orang yang berada di dekat pintu tersebut. Lihat lah, siapa yang akan menyangka kalau ternyata gadis yang dimaksud oleh teman temannya itu adalah Ellie. Perempuan yang sempat sangat terobsesi dengan Jidan, namun sekarang justru menjadi kekasih dari salah satu sahabat Shenna ini.

Shenna teringat dulu, waktu Ellie tiba-tiba datang menghampirinya untuk meminta maaf atas kejadian di masa lampau, sekaligus mengajak Shenna berbaikan. Apa salah satu alasannya juga karena Ellie akan menjalin hubungan dengan Raziel?

“Wow, ternyata semesta lucu banget ya ngatur kehidupan kita.” ucap Jidan yang baru saja menghampiri dua orang yang masih sangat fokus memandang ke arah Raziel dan Ellie.

“Sayang? Buset, ngedip yang, ngedip. Itu mata udah mau keluar.” Jidan berusaha menyadarkan Shenna yang terlalu fokus itu.

“Astaga, Ji. Ngagetin aja!”

“Lagian, fokus banget liatin mereka. Kenapa, sih? Cemburu?”

Shenna menoyor pelan kening Jidan, “Ngaco.”

“-ya, kaget lah. Siapa yang nggak kaget liat sahabat punya pacar begitu, mana orangnya di luar dugaan banget. Kapan deketnya sih mereka?”

“Padahal aku sering liat mereka bareng. Kamu aja kali yang ga sadar.” “Ish.”

Sedangkan dua orang yang sedari tadi menjadi bahan perbincangan Shenna pun akhirnya menghampiri Shenna.

“Halo, Shen.”

Ellie menyapa terlebih dahulu, Shenna membalas sapaannya dengan sedikit canggung. Lalu ia mendekat ke arah Raziel, mencubit perutnya, membuat Jiel sedikit mengiris.

“Lo tuh ya! Kok nggak cerita sih punya pacar?”

“Aduh, ampun, Shen. Ya ini makanya mau di kenalin.”

“Ck, sejak kapan kalian deket?”

Mereka memilih untuk duduk, lalu Raziel berusaha menceritakan tentangnya dengan Ellie. Ia memberitahu kalau mereka berdua memang sudah lama kenal satu sama lain, hanya saja kedekatannya belum terlalu lama. Shenna tentu saja menyetujui hubungannya keduanya. Perihal Kysha, toh sudah ada Jovan yang selama ini selalu menemai dan juga menjaga Kysha dengan baik.


Jam sudah menunjukkan pukul 11:45, yang berarti sebentar lagi hari dan tahun akan berganti.

Mereka semua yang ada di tempat itu sudah asik melakukan berbagai kegiatan. Mulai dari yang sekedar BBQ, memainkan beberapa games untuk meramaikan suasana di tempat ini, sampai dengan permainan Truth or Dare yang baru saja selesai.

Mereka mulai menyiapkan kembang api yang dipegang satu persatu dari mereka, yang nantinya, akan mereka nyalakan bergantian di pukul dua belas malam ini.

“Semua udah pegang, kan? Nanti ganti-gantian aja ya nyalainnya, atau kalau mau bareng juga gapapa, sih.” ucap Axel dengan nada yang sedikit tinggi agar didengar oleh teman-temannya. Dan di jawab sautan oleh mereka semua yang ada disana.

Sedangkan disisi lain, ada Jidan yang sedari tadi terdiam dengan senyum yang berkembang sejak tadi. Shenna menoleh ke arah kekasihnya yang saat ini berdiri di sampingnya.

“Kenapa?”

“Hm? Kenapa apanya?”

“Dari tadi senyum-senyum terus, kayak orang gila.”

“Mana ada orang gila yang ganteng gini, sih, Na.”

“Hm.”

“Aku kepikiran aja.”

“Kepikiran apa?”

“Ini tahun baruan kedua kalinya, dan masih ada kamu disamping aku sekarang.”

“Oh, jadi nggak suka ada aku disini?”

“Sotoy deh. Siapa yang bakal sangka kita berdua bisa ngelewatin satu tahun ini bareng-bareng, dan masih bisa bertahan sampai saat ini.”

“Kita direstuin semesta, Ji, hahaha.”

Benar, Jidan sadar akan hal itu. Ternyata semesta masih memberinya izin untuk tetap bersama Shenna, bahkan di pergantian tahun kedua untuknya dan juga Shenna.

Jidan tersenyum, pandangannya terfokus menatap gadis kesayangannya disampingnya ini. Jidan tak akan pernah bosan untuk memuji kecantikan sang kekasih. Cantik, entah dari luar, bahkan dari dalam diri Shenna sekalipun, semua yang ada di dalam Shenna itu cantik.

Ia tak sadar melamun memandangi Shenna, sampai lamunannya buyar karena interupsi karena arahan dari Axel yang mengatakan sebentar lagi akan menunjukkan pukul dua belas.

tepat 10 detik sebelum pergantian jam, hari, dan tahun, mereka semua yang ada disana menghitung secara mundur.

Sepuluh.

Sembilan.

Delapan.

Tujuh.

Enam.

Lima.

Empat.

Tiga.

Dua.

Satu.

Happy New Year!

Terdengar suara kembang api dari mereka yang membuat langit gelap di malam itu menjadi berwarna. Mereka semua terlihat bahagia untuk pergantian tahun kali ini. Banyak doa yang mereka sampaikan masing-masing di dalam hatinya. Berharap di tahun yang baru, mereka akan menemukan sesuatu yang baru, dan tentunya lebih baik lagi dari sebelumnya.

Setelah kembang api yang ada di tangan Jidan dan juga Shenna habis dinyalakan, Jidan lagi-lagi tersenyum, menarik Shenna dan memeluknya dengan sangat erat.

Happy new year, sayang.”

Happy new year.” jawab Shenna yang juga memeluk Jidan dengan erat.

“Na, makasih masih tetap disini sama aku, ya? Thank you for everything you gave to me, for all you did with me. Thank you, for still loving me. I hope, next year, next year again, and next year again. We can still celebrate the new year together. I love you, and I’ll always love you.”

Shenna tersenyum manis di balik pelukan itu. Bukan hanya Jidan yang selalu mengucapkan syukur pada Tuhan. Shenna pun selalu melakukan hal yang sama. Shenna tak tahu apa yang akan terjadi di antara mereka berdua kedepannya, tapi Shenna berdoa semoga mereka berdua masih bisa dan akan terus bersama.

✧.* 282. Kuncinya cuma satu, saling percaya.


Entah sejak kapan kebiasaan ini dilakukan oleh Jidan, seperti weekend sebelumnya, jika tidak ada kegiatan diluar, Jidan selalu menghabiskan waktunya di apartemen milik Shenna.

Setiap teman-teman Jidan bertanya, “Emang nggak bosen main sama Shenna mulu?” jawaban Jidan selalu sama, kata Jidan sih, ini namanya quality time sama pacar.

Tapi, ada yang berbeda dengan Jidan hari ini. Biasanya ia sibuk mengganggu Shenna yang sedang belajar, entah menghampirinya untuk meminta sebuah pelukan, atau sengaja bermain bersama shenji di dekat Shenna agar gadisnya terganggu, bahkan kadang sengaja menghampiri Shenna untuk mengajaknya mengobrol tentang hal-hal random lainnya.

Kali ini ada yang aneh dengan Jidan, ia lebih banyak diam di ruang tamu milik Shenna. Tentu saja hal itu disadari oleh Shenna.

Sejak dua jam yang lalu, Shenna tak henti-hentinya memperhatikan sang kekasih. Shenna sedikit menghela nafasnya, sebelum akhirnya memutuskan untuk menghampiri Jidan, dan duduk disamping Jidan, dengan pandangannya lurus kearah sang kekasih. Shenna membenarkan posisi Jidan agar menghadap ke arahnya juga.

Jidan menatap Shenna sedikit bingung, “Kenapa?”

“Kamu yang harusnya kenapa. Sadar nggak, kamu udah dua jam ngelamun, mikirin apa sih emangnya?”

Jidan menggelengkan kepalanya, “Engga, gapapa kok.”

“Ji.”

“Ya?”

Tell me, ada apa?”

“Gapapa, Na.”

“Kamu pikir, kamu bisa bohong? Anak kecil juga kalau liat kamu begini, pasti tau kalau kamu lagi mikirin sesuatu.”

Jidan terdiam, ia menatap wajah Shenna dengan intens. Benar saja, sebenarnya pikiran Jidan sedang berantakan sekarang, entah apa sebenarnya tujuan dari hal yang ia pikirkan ini. Disatu sisi, Jidan sedang berpikir bagaimana ia harus mulai mengatakan tentang dirinya dan juga Kysha yang beberapa waktu lalu diberitahukan oleh sahabatnya.

Jidan menarik nafasnya, sebelum akhirnya ia mulai menceritakan kepada Shenna tentang Kysha, sahabat Shenna, yang ternyata merupakan teman kecil yang pernah ia temui dulu. Sebisa mungkin Jidan mengeluarkan kata-kata yang tepat agar tidak menjadi kesalahpahaman antara dirinya dan sang kekasih.

“Jadi?” tanya Shenna sambil menatap serius ke arah Jidan.

“Jadi apa?”

“Kamu mau pilih apa? Diam di tempat kamu, atau ketemu dia buat saling ingat satu sama lain?”

Jidan menaikkan kedua bahunya, tanda sebenarnya ia juga tidak paham. “Entah, aku juga bingung. ”

“Kamu suka sama Kysha?”

Mendengar pertanyaan itu, tentu saja membuat Jidan langsung membelalak, dan dengan cepat ia menggelengkan kepalanya.

“Enggak! Kepikiran kayak gitu aja nggak.”

“Terus?”

“Tapi, rasanya takut aja, takut hal kayak gini jadi berpengaruh ke hubungan kita, Na. Aku nggak mau. Beberapa waktu lalu kamu harus ngadepin Ellie, terus sekarang ada lagi.”

“Kenapa kamu harus takut?”

“Emang kamu nggak takut?”

Pertanyaan Jidan membuat Shenna terdiam. Kalau boleh jujur, tentu saja Shenna sedikit takut. Menurutnya, hal sederhana seperti ini bisa saja akan mengganggu hubungannya. Namun, Shenna berusaha menepis pikiran buruk itu.

Shenna tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya. Ia mendekatkan posisinya ke Jidan, mengambil tangan sang kekasih, mengusapnya sambil menyalurkan kekuatan satu sama lain.

“Kamu percaya sama aku?” tanya Shenna.

“Tentu, aku percaya sama kamu.”

“Kalau gitu aku juga percaya sama kamu. Apa itu belum cukup?”

Jidan lagi-lagi terdiam, bukan karena apa, hanya saja ia bingung harus menjawab apa.

“Ji, kamu tau, hubungan itu didasari sama rasa kepercayaan satu sama lain. Kalau kamu takut aku nggak percaya sama kamu, aku mau kamu tau satu hal, aku percaya sama kamu, Ji.

Aku selalu percaya sama kamu, aku percaya apapun yang kamu lakuin, pasti kamu udah pikirin semuanya baik-baik. Dan aku harap kamu juga bisa jaga kepercayaan dari aku.

Hubungan ini, kita berdua yang jalani, Ji. Ini bukan tentang siapa orang yang akan datang buat ganggu hubungan kita, tapi tentang gimana kita berdua yang mau berjuang buat pertahanin hubungan kita.

Mau sekuat apapun usaha orang lain buat masuk diantara kita berdua, kalau aku, dan kamu memang sama-sama mau pertahanin hubungan kita, usaha dan niat mereka gak akan berhasil, Ji.”

Shenna mengeluarkan isi pikirannya, berusaha menenangkan Jidan. Ia paham rasa takut Jidan. Bukan karena Jidan menyukai sahabatnya, tapi tentang Jidan yang takut hal kecil ini menjadi hal yang tidak baik untuk mereka kedepannya.

Sedangkan Jidan, orang yang saat ini berada di depan Shenna masih bungkam, namun kali ini terlihat senyum terukir di bibir manis Jidan. Lihatlah bagaimana saat ini Jidan menatap semestanya. Pikiran berantakan Jidan sekarang berubah menjadi satu hal, Shenna. Shenna yang sekarang ada di depannya, Shenna yang sekarang sudah menjadi pusat dari semestanya.

Jika Jidan bisa bertanya kepada Tuhan, ingin sekali rasanya Jidan bertanya, kebaikan apakah yang pernah ia lakukan di kehidupan sebelumnya? Sampai-sampai saat ini, ia merasa menjadi orang paling beruntung sedunia nya.

“Makasih, ya.”

“Untuk?”

“Makasih buat usaha kamu yakinin aku, maaf kalau aku buat kamu khawatir karena hal kayak gini.”

Shenna mengangguk, “Bukan cuma aku. Kedepannya, aku harap, kalau kita lagi di situasi kayak gini lagi, kamu dan aku bisa saling ngeyakinin satu sama lain.”

“-Jadi, udah tau mau pilih jalan apa kedepannya?”

Jidan mengangguk lalu menarik Shenna untuk lebih dekat, dan membawa gadisnya ke dalam pelukannya. “Udah, aku udah tau apa yang bisa aku lakuin sekarang. Sekali lagi, makasih udah ngeyakinin aku, Na.”

✧.* 253.


Untuk kesekian kalinya, Shenna sama sekali tidak menduga akan dibawa ke tempat seperti ini oleh Jidan. Pantai, dengan area yang sangat bersih dan tempat yang tidak terlalu ramai, disinilah mereka berdua sekarang.

Saat Shenna bertanya pada Jidan, mengapa bisa terpikir untuk membawanya ke pantai, Jidan hanya menjawab ia ingin menikmati matahari terbenam bersama sang kekasih.

Tidak banyak yang mereka lakukan disana, bermain air, memakan makanan yang sudah mereka bawa, bermain kejar-kejaran, sampai saling memotret satu sama lain.

Jidan tidak sadar sejak tadi ia tersenyum memperhatikan Shenna yang tertawa sangat ceria selama mereka sampai ditempat ini.

Jidan memeluk Shenna erat setelah berhasil mengejar sang kekasih yang berlarian lalu tertawa kencang.

“Dapet, hahaha, lari kamu kurang kenceng, Na.”

“Apaan curang, langkah kamu aja dua kalinya langkah aku, ya gampang lah dapetnya.” Shenna membalas pelukan Jidan dengan mengalungkan tangannya pada leher Jidan, lalu ikut tertawa bersama.

Setelah lelah dengan kegiatan kejar-kejaran mereka, mereka berdua memutuskan untuk duduk di salah satu tempat yang ada disana, memandang matahari yang terlihat sebentar lagi akan terbenam.

Shenna tersenyum manis memperhatikan pemandangannya saat ini, ditambah dengan lelaki tampan di sampingnya yang sedang menikmati suara ombak yang ada disana.

Shenna mendekatkan posisinya ke arah Jidan dan langsung memeluk kekasihnya dari samping, lalu menyembunyikan wajahnya ke dalam ceruk leher milik Jidan. Awalnya Jidan sedikit kaget dengan perlakuan sang kekasih, namun dengan sigap ia memeluk sang kekasih, tak lupa mengusap lembut kepala Shenna.

“Are you happy?” Ucap Jidan dengan sedikit berbisik, dan mendapat jawaban anggukan dari sang kekasih.

“Bagus, berarti aku berhasil bikin kamu seneng hari ini.”

“Kamu seneng juga nggak?”

“Aku? Jelas lah, kamu aja seneng, apalagi aku yang liat kamu seceria tadi.”

“Bisaan banget jawabannya.”

“Hadiah buat aku mana?”

Shenna bangun dari posisinya, menatap Jidan dengan sedikit bingung. Ia melihat Jidan yang berusaha menunjukkan pipinya kearahnya, Shenna yang mengerti maksud Jidan pun akhirnya tertawa. Ia memajukan wajahnya, mengecup pipi Jidan, membuat pemilik dari pipi tersebut tersenyum bahagia.

Jidan mengusap rambut Shenna lagi. “Keren, pacar aku ternyata bisa peka.”

“Heh? Emang biasanya gak peka?”

Jidan tidak menjawab, kali ini ia mengubah posisinya. Menidurkan dirinya dengan kepalanya berada di pangkuan Shenna. Shenna menggeleng-gelengkan kepalanya melihat perlakukan pacarnya itu. Tangannya mengusap kepala Jidan, dengan pandangannya kembali melihat pantai yang ada di depannya.

“Aku mau tanya, boleh?”

Jidan mengangguk dengan matanya yang terpejam.

“Waktu itu kan kita belum deket. Kenapa kamu gak terima Ellie aja? I mean, she’s pretty, she’s smart too.”

“Karna dia bukan kamu.”

“Hah?”

Jidan terkekeh, “Aku sebenernya udah kenal dia dari lama, sekedar ketemu kalau ada acara papi, sih. Aku juga sebenernya udah tau, waktu papi bilang mau jodohin aku, orangnya itu Ellie.”

“Tau dari mana?”

“Ellie bilang ke nyokapnya, dia bilang kalau dia suka aku, dia minta bantuan ke nyokapnya buat bisa deket sama aku. Dan saat itu aku denger langsung, hahaha.”

“Terus? Kenapa nolak?”

Jidan menaikkan kedua bahunya, tanda ia sebenarnya tidak terlalu tahu alasannya. “Entah, cuma ngerasa kalau dia gak baik buat aku. Dan sekarang keliatan kan. Aku bersyukur buat itu.”

Shenna mengangguk paham mendengar jawabannya. Sebenarnya, keduanya tidak ada yang membenci Ellie. Jidan dan juga Shenna, berusaha memahami tindakan Ellie dari sudut pandang Ellie sendiri. Karena itulah, Shenna menghadapi Ellie dengan cara yang seperti ini.

“Aku mau tanya juga, boleh kan?”

Shenna mengangguk, “Apa?”

“Marvel.”

“Kenapa?”

“Kok bisa, setelah kejadian itu, kamu sama dia masih sama-sama, bahkan sampe sekarang?”

Shenna berusaha mencerna pertanyaan Jidan, sekaligus memikirkan bagaimana ia harus menjelaskan kepada Jidan, tanpa menggunakan kalimat yang dapat menjadi salah paham.

“Dia minta maaf.”

“Ya itu mah harus. Aneh kalau dia gak minta maaf tapi masih bisa deket sama kamu.”

“Ya gitu, dia minta maaf, bukan cuma ke aku, ke Axel juga. Dia bilang kalau dia janji gak akan ngulangin kesalahan yang sama. Kalau masalah maafin, aku udah maafin dia. Tapi kalau untuk balik, ya aku gamau lagi. Gitu deh, dia masih berusaha. Makanya selama ini kita masih bisa bareng-bareng, bahkan mungkin masa sma aku banyak di temenin sama dia. Masih bisa sering pergi bareng, walaupun semuanya masih diawasi sama Axel.”

Jujur, Jidan sedikit menyesal mengeluarkan pertanyaan ini. Penjelasan yang ia dengar sekarang, rasanya Shenna seperti bersemangat menjelaskan apa yang terjadi antara dia dengan Marvel. Jidan hanya mengeluarkan senyum tipisnya.

“Jadi? Perasaan kamu gimana sekarang?”

Shenna merenyit bingung mendengar pertanyaan Jidan, ia mencubit pelan pipi pacarnya itu.

“Ya, gak gimana-gimana. Empat tahun sama dia, udah kayak kakak sendiri. Aku lihat dia kayak liat kak Axel yang jagain aku. Atau liat kak Jarren, kak Zaky, sama kak Ricko yang baik ke aku. Atau kayak Razan sama Raziel yang udah sahabatan sama aku. Ya aku sama Marvel kayak gitu selama empat tahun ini.”

Omongan Shenna tertahan sebentar, membuat Jidan yang tadinya sedang menutup mata akhirnya membuka matanya, melihat wajah cantik Shenna dari bawah. Begitu pula dengan Shenna yang asik menatap wajah tampan milik Jidan dengan tangannya mengusap lembut pipi sang kekasih.

“Dan sekarang aku ditemuin sama kamu. Kamu yang ngeselin, kamu yang menyebalkan, kamu yang selalu punya cara kamu sendiri buat bikin aku marah. Tapi, kamu juga yang berhasil bikin aku seneng. Kamu yang selalu bisa bertanggung jawab sama apapun yang kamu lakuin. Dan kamu juga berhasil bikin aku sayang sama kamu.”

Lihatlah, wajah kecut Jidan sekarang berubah menjadi senyum bahagia. Mendengar bagaimana kekasihnya mendeskripsikan dirinya, membuatnya tersenyum bangga dengan apa yang ia miliki saat ini.

Jidan bangun dari posisi tidurnya, duduk dan memposisikan Shenna agar menghadapnya, menarik Shenna agar lebih dekat dengannya. Tangannya terulur mengambil tangan kecil milik Shenna, mengusapnya dengan lembut, lalu menggenggamnya dengan erat.

Ia menatap wajah Shenna sangat lama, sampai orang yang menjadi objek itu hanya mengalihkan pandangannya untuk menutupi malunya karena Jidan memperhatikannya dengan intens.

Mungkin, ribuan ucapan terima kasih kepada Tuhan, tidak akan cukup untuk mendeskripsikan rasa bahagianya sekarang. Iya, Jidan bahagia, bahagia dengan dirinya sendiri, dan jauh lebih bahagia dengan orang yang ada di depannya sekarang. Gadis cantik dengan rambut panjang yang terurai, yang sedang asik memandangi indahnya matahari terbenam, yang dapat terlihat dengan jelas di pantai itu.

Namun berbeda dengan Jidan, menurutnya, matahari terbenam sangat kalah jauh dengan pemandangan yang ada didepannya saat ini. Shenna, sama bersinarnya seperti matahari, dan jauh lebih cantik dari matahari terbenam yang ada di tempat itu.

Dengan matahari yang hampir sepenuhnya terbenam sebagai saksi, Jidan memajukan badannya, lalu mengecup kening Shenna.

“Aku juga sayang kamu, Na.”

✧.* 231.


Ting tong! Ting tong!

“Sayang! Bukain dong, tanganku penuh. Susah nih.”

Terdengar suara teriakan Jidan di depan pintu apartemen Shenna. Shenna sedikit terkekeh, sambil membayangkan hal random apa lagi yang Jidan bawa untuknya sekarang.

Setelah membuka pintu, ia sedikit terkejut. Bagaimana tidak, tangan kanan Jidan berisi kumpulan kertas tebal yang bisa ditebak itu merupakan latihan soal-soal yang tadi dikatakan Jidan. Namun tangan kirinya…

“Jidan! Itu makanan banyak banget! Kamu tuh, mau nyuruh aku jualan atau gimana, sih? Kalau bawa apa-apa tuh secukupnya aja.”

Jidan memanyunkan bibirnya selama mendengar omelan dari Shenna, “Bawel! Ini bantu dulu dong, sayang.”

Shenna mendekat, mengambil kumpulan kertas dari tangan Jidan, dan membiarkan sisanya tetap dibawa oleh Jidan. “Ada-ada aja kamu mah.”

“Hehehe.”

Jidan mengikuti langkah kaki Shenna, menuju ke kamar milik gadis tersebut, tempat dimana dari tadi Shenna melakukan aktivitasnya. Shenna duduk di kursi belajarnya, sedangkan Jidan merebahkan dirinya di kasur milik gadisnya itu.

“Udah semua materi dipelajari lagi?”

Shenna mengangguk, “Iya, tinggal ngerjain latihan soalnya aja, makannya aku pusing.”

Jidan beranjak lagi dari posisinya, mengambil salah satu kursi yang ada di ruangan itu, lalu mendekat untuk duduk di samping Shenna.

“Nanti tesnya cuma seratus lima puluh soal, tapi tetep aja, latihan soalnya banyak. Kan nggak tau mana aja yang bakal masuk.”

“Ck. Seratus lima puluh soal juga banyak, Na.”

“Iya, sih.”

“Pelan-pelan, di pahamin dulu soalnya sebelum kerjain.”

Shenna kembali fokus pada kegiatannya, mengerjakan beberapa latihan soal miliknya, dan juga yang tadi dibawakan oleh Jidan. Jidan hanya terdiam di samping Shenna, menemani Shenna sambil sesekali membantu Shenna memecahkan soal yang menurut gadisnya itu sulit.

Sesekali Shenna mengacak-acak rambutnya sendiri saat mengerjakan soal. Sedangkan Jidan hanya terkekeh, tangannya terulur untuk merapikan rambut berantakan Shenna, sekaligus mengusap kepala kecil gadisnya untuk mencoba memberikan ketenangan kepada gadisnya itu.

“Gak bisa,” ucap Shenna secara mendadak.

Jidan menatap Shenna bingung, “Apanya yang nggak bisa?”

“Nggak bisa, aku ga yakin besok bisa ngerjainnya.”

Terlihat dengan jelas mata Shenna sudah berkaca-kaca. Pikirannya benar-benar berantakan sekarang. Dulu dia butuh waktu setahun untuk belajar sebelum mengerjakan tes ini. Kali ini ia sedikit kewalahan karena harus mengingat semua materi kembali hanya dalam dua minggu.

“Eh, Na. Hey, kenapa malah nangis.”

“Hiks.”

Jidan menarik kursi Shenna, memposisikan Shenna agar menghadap padanya. Tangan kekarnya menangkup kedua pipi Shenna, membersihkan air mata yang sempat keluar dari mata gadis cantiknya itu.

“Aku nggak bisa, Ji. Susah. Maafin aku ya, maaf aku sok-sokan bikin kaya gini, padahal aku juga belum tentu bisa.”

Shenna menunduk, ia semakin menangis, pikirannya semakin berantakan. Kepercayaan dirinya seketika menghilang, rasa yakinnya untuk menang seketika lenyap.

Jidan panik melihat gadisnya semakin menangis. Ia memajukan badannya, memeluk gadisnya itu dengan erat, membiarkan gadisnya mengeluarkan tangisnya dalam pelukannya. Sudah dipastikan kaos milik Jidan sudah basah karena air mata dari pacarnya.

“Na, gapapa-gapapa, okay? Kamu udah usaha sebisa kamu. Gapapa, sekarang boleh takut, sekarang boleh nangis. Tapi besok jangan lagi, Ya? Pokoknya besok aku temenin kamu sampe selesai.” ucap Jidan sambil menepuk-nepuk pelan punggung gadisnya.

Shenna mengangguk pelan, tangisannya mulai reda setelah beberapa menit. Namun tangannya masih enggan melepaskan pelukan dari sang pacar, Shenna masih setia menyembunyikan wajah berantakannya di leher Jidan.

“Udahan dulu, ya? Besok setelah kamu selesai, aku ajak jalan-jalan, okau? Sekarang tidur, mau?” tanya Jidan dan dijawab anggukan lagi oleh Shenna.

Jidan membenarkan posisinya, menggendong Shenna yang masih setia memeluk lehernya, membawanya ke kasur kesayangan gadisnya itu. Ia menarik selimut agar bisa menutupi tubuh gadisnya, lalu tersenyum tipis.

“Istirahat. Kamu udah terlalu banyak keluarin tenaga kamu.”

“Jangan kemana-mana.”

“Hm?”

Shenna menggenggam erat tangan Jidan. “Temenin aku disini.”

Jidan tersenyum, ia membenarkan posisinya untuk duduk di kasur Shenna, membiarkan gadisnya memeluknya sampai tertidur. Tangannya asik merengkuh tubuh gadisnya.

Setelah sadar gadisnya sudah tertidur, ia perlahan mencium kening Shenna dan tersenyum manis. “Selamat tidur, Na.”

✧.* 222.


“Makasih, ya. Aku pikir tadi kamu nggak jadi nganterin aku.”

“Papi gua yang minta.”

Wajah Jidan terlihat sedikit gusar, pandangannya lurus dan datar memandang jalan di depannya. Kalau bukan karena permintaan papinya, mungkin saat ini ia masih asik menikmati makan siangnya bersama Shenna di kantin fakultas, menyebalkan sekali.

“Shenna udah di anter pulang?”

“Iya.”

“Kalian apartemennya beneran sampingan, ya? Aku sempet denger dari anak-anak, sih.”

“Iya.”

“Oh iya, makasih ya udah repot-repot nganterin aku.”

“Iya.”

Sejujurnya, Jidan sangat malas dengan situasi yang harus dihadapi ini. Pikirannya penuh dengan nama Shenna, ia merasa tidak enak karena harus meninggalkan gadisnya.

Setelah sampai di kantor milik papinya, Jidan tidak langsung pergi. Ia justru memarkirkan mobilnya di lobby yang ada di tempat tersebut. Ellie tersenyum tipis, ia mengira Jidan akan berbaik hati mengantarnya sampai ke dalam.

“Gua naik bukan mau nganterin lo, gua mau ketemu papi.” ucap Jidan yang sadar dengan tingkah gadis yang datang bersamanya itu. Seketika senyum Ellie menghilang begitu saja.

“Iya, Jidan.”

Setelah itu tidak ada lagi obrolan dari mereka berdua. Jidan melangkahkan kakinya menuju lift di kantor itu, sedangkan Ellie hanya mengikutinya dari belakang.

“Loh, nak Jidan? Wah, terima kasih ya, sudah mau nganterin Ellie, sampai ke ruangan ini pula.”

Sapaan tersebut berasal dari perempuan dewasa yang sedang duduk bersama dengan beberapa orang lain di ruangan itu. Tentunya Jidan sudah tau kalau itu adalah mama dari Ellie.

“Iya, tante.” jawab Jidan secara singkat, ditambah senyuman tipis sebagai tanda balasan dari sapaan beberapa orang yang ada disana.

Jidan menghampiri papinya yang berada di tengah orang-orang tersebut, lalu berbicara pelan. “Papi, mau ngomong bentar, boleh?”

“Ngomong aja, abang,”

“Nggak mau disini.”

Sepertinya papi Jidan paham dengan yang dimaksud oleh anak sulungnya itu, ia segera pamit lalu beranjak dari ruangan itu menuju keluar, disusul oleh Jidan yang mengikuti papinya dari belakang.

“Kenapa, Nak? Oh iya, makasih udah mau nganterin Ellie, ya.”

“Iya.”

“Mau bilang apa? Sampai harus keluar gini.”

“Pi, jangan gini lagi, ya?”

“Maksudnya, Nak?”

Jidan menarik nafasnya panjang, dengan hati-hati ia mulai mengungkapkan isi pikirannya.

“Jangan gini lagi, Pi. Hari ini abang turutin papi, karna abang tau, niat papi sebenernya baik, papi nggak mau biarin Ellie berangkat sendirian kesini. Tapi untuk selanjutnya. abang nggak mau lagi. Abang punya pacar, papi. Abang harus bisa jaga perasaan pacar abang.”

Papinya menaikkan salah satu alisnya, “Pacar? Shenna? Dia bukan pacar beneran, kan? Papi sudah dengar dari Ellie.”

Sialan. batin Jidan.

Jidan awalnya sedikit terkejut dengan kalimat yang diucapkan papinya, namun sebisa mungkin ia menutupi ekspresi kagetnya di depan papinya.

“Enggak. Shenna emang pacar abang, dan abang sayang sama Shenna, pi. Abang nggak mau karna terus-terusan berurusan Ellie, nanti malah jadi nyakitin Shenna. Abang harap, papi ngerti maksud abang sekarang.”

Mendengar penjelasan panjang dari Jidan itu membuat papinya tersenyum. Ada rasa bangga dalam hati papinya, melihat anak sulungnya ini sudah dewasa, dan sudah tau bagaimana seharusnya menjaga perempuan. Ia juga merasa bersalah sudah meminta Jidan melakukan hal yang sebenarnya Jidan tidak mau.

Papi jidan mendekat, lalu menepuk pelan bahu jidan. “Papi ngerti, Nak. Maaf merepotkanmu hari ini, ya.”

“Nggak ngerepotin, pi. Abang cuma bilang aja, kalau abang nolak sesuatu yang papi minta, berarti emang ada alasannya.”

“Iya iya, papi paham.”

“Kalau gitu abang pulang dulu.”

✧.* 180.


Tidak ada yang lebih gila dari seorang Jidan yang membelikan Shenna es krim, namun ditambah bonus yaitu lemari pendinginnya. Shenna tak habis pikir, menurutnya Jidan benar-benar gila.

Berapa banyak uang yang harus dikeluarkan Jidan untuk membelikan hal yang tak sengaja ia sebutkan ini? Shenna mengetik kalimat singkat itu tanpa berpikir panjang. Siapa sangka Jidan justru mengabulkannya?

Shenna masih terdiam sambil memandangi lemari pendingin yang berisi banyak es krim dengan berbagai macam rasa itu. Ia memijat keningnya secara perlahan, Jidan memang paling bisa membuatnya pusing.

Ting tong! Ting tong!

Setelah mendengar suara bel dari apartemennya itu, Shenna langsung bergegas ke depan. Ia sudah tahu kalau orang yang datang itu adalah Jidan, maka dari itu ia menarik nafasnya, mempersiapkan diri untuk mengeluarkan segala omelan untuk lelaki itu.

“Loh? Muka lo kenapa?”

Shenna reflek mendekat ke arah Jidan, memegang kedua pipi Jidan dan melihat disana pipi Jidan sedikit membiru.

“Dapet hadiah kecil tadi dari Axel, hehe.”

Ah, sepertinya Shenna paham maksud Jidan. Shenna tak menjawab lagi, ia menggandeng tangan Jidan untuk masuk ke dalam apartnya dan mendudukkan Jidan di sofa yang ada di ruang tengah miliknya.

Shenna meninggalkan Jidan sebentar, mengambil kotak P3K yang selalu ada di apartnya. Setelah di pikir-pikir, kotak P3K nya ini bahkan tak pernah ia pakai sendiri, justru digunakan untuk mengobati orang lain. Contohnya Jidan dan Marvel.

“Sini, hadap ke gue.” ucap Shenna setelah kembali duduk di samping Jidan. Ia memperhatikan wajah tampan Jidan dengan lekat, sampai tak sadar tiba-tiba saja ia tersenyum.

“Ini abis dipukul, loh. Kok malah senyum?”

“Salah lo sendiri.”

“Na, susah.”

“Apanya?”

Bukannya menjawab, secara mendadak Jidan malah menarik pelan Shenna, membawa tubuh kecil gadis itu ke atas pangkuannya. Tangannya dengan santai memeluk pinggang gadis yang sudah berada di pangkuannya itu. “Gini aja ngobatinnya, biar gak susah.”

Shenna terdiam, ia terkejut dengan serangan mendadak yang diberikan oleh Jidan itu. Matanya mengerjap. Ia belum sepenuhnya sadar dengan apa yang baru saja terjadi. Perutnya terasa geli sekarang, rasanya seperti banyak kupu-kupu bertebaran karena ulah laki-laki di depannya ini.

Mendadak pipinya memerah setelah sadar bahwa posisinya dengan Jidan sangat dekat sekarang. Tentu saja Jidan menyadari hal itu, sehingga Jidan tertawa kecil melihat ekspresi gadisnya yang masih terdiam itu.

“Jadi ngobatin, nggak?”

“Ngeselih ih!”

“Ngeselin, tapi pipinya sampe merah gitu?”

Shenna memukul pelan bahu Jidan, yang justru menimbulkan gelak tawa dari laki-laki tersebut. Gadis di depannya ini benar-benar menggemaskan. Ah iya, menurut Jidan sih, sebenarnya Shenna selalu menggemaskan.

“Sama pacar gak boleh galak gitu.”

“Sejak kapan gue terima?”

“Aku nggak terima penolakan, sih.”

“Ish!”

Shenna tidak menjawab lagi, ia memilih melanjutkan aktivitasnya untuk mengobati pipi Jidan. Sedangkan laki-laki yang sedang di obati itu asyik menikmati pemandangan wajah cantik yang dimiliki Shenna.

“Nggak mau nanya apa-apa?”

“Nanya apa, apanya?”

“Tadi pasti liat kan?”

Shenna mengangguk, “Iya. Tapi gak mau nanya apa-apa. Kalau lo pikir itu penting, pasti lo bakal ngomong ke gue, kan?”

“Aku.”

“Apa?”

“Aku kamu. Jangan gue lo lagi. Nggak enak dengernya.”

“Males banget.”

“Oh, gitu.” Jidan mengangguk setelah mendengar kalimat penolakan dari Shenna itu. Tangannya kembali mengeratkan pelukannya pada pinggang Shenna, tentu saja membuat posisi mereka berdua semakin dekat satu sama lain.

Untuk kesekian kalinya, pipi Shenna memerah lagi karena ulah Jidan. Sedangkan orang yang berulah itu justru tersenyum kemenangan.

“Jidan, Ih!”

“Apa sayang?”

✧.* 150.

Cw // kissing , kinda nsfw


Pukul dua pagi, Shenna belum dapat tertidur. Ia masih sibuk dengan segelintir tugasnya. Koreksi, sejujurnya Shenna memang belum bisa tertidur karena pikirannya sedikit berantakan sekarang.

Ya, Jidan pelakunya. Laki-laki yang biasanya tak pernah absen untuk menemuinya, bahkan hanya untuk sekedar mengganggunya, dan membuatnya marah, sekarang tiba-tiba saja menghilang tanpa kabar.

Selama tiga hari, berkali-kali Shenna bolak-balik ke pintunya hanya untuk sekedar mengintip apakah Jidan sudah pulang atau belum.

Katakan Shenna aneh, ia menyadari itu. Kali ini ia merasa sangat berbeda, sepinya biasanya terisi dengan Jidan dan segala kerandomannya seketika berubah.

Ingin sekali Shenna bertemu Jidan, walau hanya sekedar mengucapkan kata maaf. Ia juga sadar kok, kata-katanya waktu itu sedikit berlebihan. Mungkin saja kata-kata yang ia keluarkan bersamaan dengan emosinya saat itu menyakiti Jidan sekarang.

Tit! tit! tit! tit!

Lamunan Shenna terhenti begitu saja saat ia sadar, di depan pintu apartnya ada seseorang yang sedang mencoba memasukkan pin di pintu apartemen miliknya. Shenna bergegas ke depan, memastikan pelaku yang mencoba membuka pin apartemennya itu.

“Jidan?” dengan segera Shenna membukakan pintunya.

Shenna mengerjapkan matanya. Orang yang selama tiga hari ini memenuhi pikirannya, orang yang selama tiga hari ini tiba-tiba menghilang dari pandangannya, sekarang ada di depannya.

Jidan. Dengan leather jacket hitam kesayangannya, ditambah dengan topi hitam yang sedikit menutupi wajah tampannya, sedang berdiri di hadapan Shenna sekarang. Laki-laki tampan itu terlihat sedikit berantakan, mungkin belum sepenuhnya sadar.

“Ji, lo salah ruangan, apart lo di depan, ini apart gue.”

Bukannya membalikkan badannya menuju ke ruangan miliknya, Jidan justru mendekat ke arah Shenna.

Dengan perlahan ia merengkuh pinggang gadis dengan rambut yang sedang terurai itu, menariknya lebih dekat ke pelukannya, kepalanya terjatuh di pundak gadis tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata apapun.

“Ji, you drunk.” ucap Shenna yang berusaha menenangkan dirinya dari serangan dadakan yang ia dapat dari Jidan.

Jidan menggeleng, “No, i’m not.”

“Kalau gitu lepas.”

Lagi-lagi Jidan menggeleng, ia semakin mengeratkan pelukannya. “Sepuluh menit, please.”

Shenna menghela nafasnya kasar, entah dorongan dari mana, ia mulai membalas pelukan Jidan, membiarkan kedua tubuh mereka saling bersentuhan dengan erat satu sama lain. Shenna dapat mencium wangi khas Jidan, ditambah dengan wangi alkohol yang masih melekat di tubuh si tampan ini.

“Yaudah, ayo masuk. Lepas dulu.”

Shenna berusaha melonggarkan pelukannya, berniat menyuruh Jidan masuk terlebih dahulu. Namun usahanya gagal, Jidan tidak mau melepaskan pelukan itu. Shenna mengalah lagi. Ia menuntun Jidan berjalan masuk kedalam apartnya, dalam keadaan masih memeluk satu sama lain.

Shenna membawa Jidan ke kamarnya. Setelah masuk, akhirnya ia berhasil melepas pelukannya, ia mendudukkan Jidan dikasur miliknya.

“Sini buka dulu jaket lo. Lo tuh ya, ngeselin banget. Sadar gak sadar, tetep aja ngerepotin gue!” omel Shenna sambil membantu Jidan membuka jaketnya yang berbau alkohol itu.

Terdengar suara kekehan pelan dari Jidan yang belum sepenuhnya sadar. Jidan bahagia, rasanya sangat tenang setiap kali mendengar omelan dari Shenna. Rasanya, dunianya kembali datang, setelah tiga hari sama sekali tidak mendengar suara Shenna.

“Malah ketawa!”

Jidan menarik Shenna agar mendekat ke arahnya, dengan jarak yang terbilang sangat dekat ini, Shenna menatap mata Jidan yang masih terlihat sayu.

Mereka terdiam, mata mereka saling bertemu. Rasanya seperti, mereka sedang menyalurkan rindunya masing-masing. Banyak kata yang tersimpan di dalam kepala mereka berdua. Sialnya, semua terhalang oleh ego mereka masing-masing. Mungkin, sekarang sudah saatnya salah satu dari mereka mengalah melawan ego, kan?

Tangan Jidan terulur ke pipi Shenna, ia menangkup pipi kecil Shenna dengan kedua tangannya, mengusapnya dengan lembut. Jidan tersenyum tipis melihat gadis di depannya ini. Satu kata yang mendeskripsikan Shenna, dimata Jidan, Shenna itu cantik. Semua hal yang ada di dalam diri Shenna itu cantik. Shenna yang galak, dan yang tetap hangat walau selalu ada kalimat pedas yang ditujukan padanya.

Can i kiss you?”

Bahkan, tanpa menunggu persetujuan apapun dari Shenna, setelah ia mengucapkan pertanyaan singkat itu, ia langsung memajukan wajahnya, memutuskan seluruh jarak yang membatasi mereka berdua.

Sepersekian detik, bibir lembut milik Shenna menempel dengan sempurna ke milik Jidan yang sedikit kering namun terasa manis. Shenna terdiam, otaknya masih mencerna apa yang baru saja terjadi.

Jidan pun melakukan hal yang sama, ia tak bergerak dari posisinya. Jidan hanya mengecup bibir lembut Shenna dengan sedikit lama, sebelum akhirnya melepas kecupan manis tersebut.

Ia menunduk, lagi lagi pundak Shenna menjadi sasaran empuk dari kepala Jidan.

You smell good.”

“Ji, lo sadar gak, lo abis ngapain?”

Jidan mengangguk, “Hm, i kissed you.”

“Na, mau tau sesuatu tentang gua?”

Dengan susah payah, Jidan mengungkapkan satu per satu kata dari mulutnya, agar tetap terdengar jelas.

I miss you. Dan, gua sayang lo, Na. Maaf cara gua buat nunjukin diri gua di depan lo, terlihat aneh dan menyebalkan. Maaf, bukannya bikin lo senyum, gua justru berhasil bikin marah karna kelakuan gua. Tapi satu hal yang harus lo tau-”

Jidan menarik nafasnya panjang, sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya. ”I love you, and i really do.”

Setelah mengucapkan kalimat pengakuan secara tidak sadar, Jidan mengalungkan tangannya di pinggang kecil Shenna, memeluknya kembali dengan sedikit posesif, bahkan rasanya enggan untuk melepas pelukan itu.

Shenna masih terdiam, ia dapat merasakan nafas Jidan di lehernya dengan jelas. Tangannya perlahan membalas lagi pelukan dari laki-laki di depannya ini. Senyum kecil terukir di bibir Shenna. Lucu sekali rasanya, saat menyadari seseorang sedang memberikan pengakuan kepadanya dalam keadaan mabuk.

Shenna terkekeh, ia membayangkan bagaimana nantinya saat Jidan sadar, lelaki tersebut bisa saja lupa dengan hal yang sudah ia lakukan sejak tadi.

“Ah!” Shenna terkejut saat Jidan tiba-tiba saja menggigit lehernya dengan sedikit kasar. Tidak hanya sekali, namun berkali-kali. Jidan mulai asyik dengan permainannya di leher Shenna.

“Ji... mmphh” dengan sekuat tenaga Shenna menggigit bibir bawahnya sendiri, menahan dirinya untuk tidak mengeluarkan desahan. Pasalnya, bukannya berhenti, Jidan justru mengeratkan tangannya di pinggang Shenna, dan melanjutkan aktivitasnya di leher Shenna.

Desahan Shenna sudah tak tertahan lagi, suaranya mulai terdengar dan memenuhi kamar miliknya itu. Jidan tidak berhenti, mendengar desahan Shenna justru membuatnya semakin semangat. Kepalanya justru berpindah, menuju ke bagian leher Shenna yang satunya dan menggigitnya lagi dengan kasar, meninggalkan banyak tanda disana. Seolah ia ingin memamerkan kepada dunia, gadis ini miliknya, tidak ada satupun orang yang boleh mengambil gadisnya ini darinya.

Satu hal yang ada dipikiran Shenna sekarang, yaitu kondisi lehernya yang pasti sudah sangat merah dan akan membekas karena tingkah nakal Jidan.

Tiba-tiba saja Jidan berhenti dari aktivitasnya, tangannya yang tadinya di pinggang Shenna pun sekarang melonggar, nafas Jidan terdengar oleh Shenna.

“Ji?”

“Jangan bilang, lo tidur?”

Benar saja, setelah puas dengan kegiatannya yang meninggalkan banyak jejak di leher Shenna, ia justru tertidur di pelukan Shenna. Untuk kesekian kalinya, Shenna menghela nafasnya. Tak habis pikir lagi dengan Jidan.

“Ji... Nanti gue ada kelas pagi!”

✧.* 138.


Siang itu terasa dingin, lebatnya hujan membasahi bumi, ditambah dinginnya ac dari mobil milik Marvel, yang begitu terdengar karena keheningan diantara dia dan gadis manis berambut panjang yang diikat dengan rapi.

Jarak wajah mereka tak sampai dua puluh cm, Shenna terlihat serius mengobati wajah Marvel yang terkena bogeman dari seorang Jidan. Wajah Marvel membiru, ujung bibirnya terlihat ada darah yang sudah mulai mengering.

Sedangkan Marvel, matanya sibuk menatap cantiknya wajah Shenna, wajah mulusnya, bibir tipisnya yang membuat Shenna terlihat hampir sempurna. Koreksi, Shenna memang selalu sempurna di mata Marvel. Menurut Marvel, Shenna terlalu sempurna sampai kadang ia bertanya-tanya, apakah benar-benar ada gadis secantik ini di dunia?

“Maaf, Marvel.”

Kalimat pertama yang terdengar setelah sepuluh menit lamanya mereka berada di dalam mobil itu.

“Maaf buat semuanya jadi rumit. Maaf, karna Axel, dan karna Jidan, kamu jadi harus ngerasain ini semua.”

Sejenak Marvel membeku, mata mereka saling bertemu, membuat Marvel terpaku dengan tatapan yang terasa sangat dalam itu.

Marvel menggelengkan kepalanya. “Aku pantes dapetin ini semua, Auris. Ini belum sebanding sama rasa sakit yang pernah kamu rasain empat tahun yang lalu.”

Benar, memang sakit rasanya jika mengingat kejadian lama di antara mereka. Saat dimana pertama kalinya Shenna merasakan yang namanya cinta pertama pada Marvel, sekaligus patah hati terbesarnya saat itu.

Jujur, Shenna tidak membenci Marvel. Shenna sudah memaafkan Marvel, bahkan sebelum laki-laki tersebut berkali-kali mengucapkan kata maaf padanya.

Setelah selesai mengobati wajah Marvel, ia tersenyum tipis, tangannya terlihat merentang ke arah Marvel tanda ia ingin memberikan sebuah pelukan.

Dengan senang hati Marvel menerima pelukan tersebut, pelukan hangat yang sudah lama tidak ia rasakan dari siapapun. Pelukan itu terasa erat, sangat erat sampai rasanya Marvel tidak ingin melepaskannya.

“Auris, apa aku gak punya kesempatan lagi buat perbaiki semuanya? Apa kita nggak bisa coba buat memulai lagi hubungan kita?”

Dengan susah payah Marvel mengeluarkan kalimat tersebut, ia sudah siap dengan seluruh jawaban yang akan ia dapat, ia tau resikonya sangat besar setelah mengungkapkan itu.

Benar saja, jawaban yang ia dapat sebuah gelengan yang dapat ia rasakan dari pelukan hangat itu.

“Kisah kita udah lama selesai, Marvel. Berhenti, ya? Berhenti tunggu aku. Berhenti berjuang buat sesuatu yang sudah lama selesai ini.”

Runtuh. Seketika seluruh bagian dalam diri Marvel terasa runtuh, hancur menjadi beberapa keping. Hatinya sakit, mendengar kalimat penolakan, sekaligus permintaan dari satu gadis yang ia sayang ini.

“Kenapa? Udah ada orang lain ya, Auris? Jidan, ya? Jidan berhasil masuk ke hati kamu, ya, Auris?”

Shenna menarik nafasnya panjang, sebelum dengan susah payah mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut. “Iya, Marvel, maaf.”

Mendengar jawaban itu, membuat Marvel semakin mengeratkan pelukannya. Pelukan hangat ini, terasa nyaman, sekaligus terasa sangat menyakitkan.

Tuhan, kalau boleh Marvel egois, ia ingin sekali menuntut apa yang sebenarnya diinginkan hatinya. Ingin sekali rasanya bisa terus mendekap gadisnya ini dengan erat.

Ingin rasanya Marvel berteriak pada dunia, kalau ia mau Shenna.

Marvel siap dicaci maki oleh dunia, Marvel akan menerima seluruh hukuman yang pantas ia terima atas kesalahan yang pernah ia lakukan. Tapi, setelah itu, ia berharap dunia bisa memaafkannya, berharap dunia bisa memberikan kesempatan satu kali lagi untuk memiliki gadis kesayangannya ini.

Ternyata udah nggak bisa lagi, ya, Auris?