archivecapella

✧.* 130.

Tw // relationship issue


Pukul tujuh pagi, matahari sudah menunjukkan dirinya, menyinari bumi yang sudah selesai menikmati malamnya. Beberapa anggota Vegas masih tertidur dengan lelap, bagaimana tidak, mereka semalaman penuh asik dengan kegiatannya masing masing, ada yang karaoke, minum, bermain ini itu, atau sekedar berbincang satu sama lain.

Berbeda dengan Jidan, karena sudah terbiasa terbangun dipagi hari, saat ini ia sudah berada disalah satu balkon yang ada di villa tersebut, sambil menikmati angin pagi yang terasa sedikit menusuk ke tubuh.

“Masih pagi, gak usah galau gitu, Dan.”

Axelino yang saat itu sudah terbangun juga, menghampiri Jidan dan ikut duduk di sampingnya.

“Mikirin apa lo?”

Jidan menggeleng. “Mikirin dunia, yang ternyata lumayan nyusahin.”

Mendengar itu membuat Axel hanya terkekeh, “Setuju sih, bukan lumayan, tapi kadang dunia emang nyusahin banget.”

“Bang, gua boleh nanya sesuatu?”

Pertanyaan itu membuat Axel menaikkan salah satualisnya sambil menatap bingung ke arah Jidan. “Apa? Tanya aja.”

“Sejujurnya, ini bukan gua banget. Gua paling gak suka, mau tau sama urusan orang lain. Tapi, gak tau kenapa, kali ini rasanya diri gua sendiri harus tau tentang ini.”

Axel masih terdiam, menunggu Jidan menyelesaikan kalimatnya. Entah benar atau tidak, Axel dapat melihat wajah serius Jidan seperti sedang menyimpan 1001 pertanyaan di benaknya.

“Lo, Shena, dan Marvel. Itu ada apa sebenarnya?”

“Hah?”

“Gua bosen diem aja selama tau ini. Tapi lo harus tau, secara sengaja atau gak sengaja, gua sering liat kalian. Gua sering liat Shenna berdua sama Marvel, bahkan gua pernah liat satu kejadian dimana lo berantem sama Marvel, dan nyebut nama Shenna. Tadinya gua gak pengen penasaran, cuma ya, makin kesini gua makin kepikiran.”

Axel membenarkan posisinya menjadi menyamping, dan menatap wajah serius Jidan dari samping. “Lo, suka sama adek gue, Dan?”

Awalnya Jidan sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, namun dengan sigap ia berusaha menetralisir rasa kagetnya menjadi tenang kembali.

“Iya. Dan pertanyaan gua tadi, jadi satu hal yang bikin gua gak punya keberanian buat maju, Bang. Gua bisa tebak, mungkin aja Shenna sama Marvel emang ada hubungan. Tapi kadang gua gak paham aja sama situasinya, gua pengen tau itu, tapi gua gak tau harus kemana, lo sendiri pasti tau kalau gua gak bisa tanya ini ke Shenna langsung, gua gak ada hak untuk itu.”

“Jadi maksudnya, lo punya hak buat nanya ke gue?”

“Ah iya, bener juga. Kalau gitu, gak usah dijawab, Bang. Anggap aja gua gak nanya apa-apa tadi.”

Axel menatap wajah pasrah Jidan, baru kali ini ia melihat wajah Jidan seperti ini. Jidan yang berbeda dari biasanya, yang biasanya selalu menghampirinya hanya untuk sekedar meminta izin membawa Shenna pergi, yang biasanya selalu mengabarinya hanya untuk memberi tahu kalau ia sudah membawa pulang adik satu-satunya dengan selamat.

Axel terjebak di dua sisi, adiknya meminta untuk tidak membicarakan hal ini kepada siapapun, tapi disatu sisi, Axel rasa Jidan memang harus tau apa yang terjadi.

“Marvel mantannya Shenna.”

Kalimat singkat itu membuat Jidan tersenyum miring, benar dugaannya. Gadis cantik yang sudah lama dekat dengannya, masih tersangkut dengan masa lalunya.

“Waktu itu Shenna kelas 9, sedangkan Marvel udah masuk sma. mereka deket, sampai akhirnya pacaran. Shenna gak pernah cerita ke gue. Setelah gue tau, ternyata udah seminggu pacaran. Disitu gue awalnya gak percaya, karna gue tau marvel itu punya pacar yang satu angkatan sama dia. Ternyata bener. Marvel sama pacarnya udah 3 bulan, dan Shenna jadi orang ketiga di hubungan mereka, tanpa Shenna tau itu.”

deg.

“Disitu gue marah, gue tonjok Marvel abis-abisan. Sialnya, Shenna sama sekali gak marah sama Marvel. Malah gue yang jadi berantem sama Shenna, karna sejujurnya, Shenna gak suka orang yang kasar.”

“Shenna udah maafin marvel, sedangkan gue gak bisa maafin dia sampai sekarang. Makanya gue selalu ngawasin setiap kali gue tau mereka pergi bareng. Walaupun Marvel selalu bilang kalau dia gak akan ngulangin kesalahan yang sama, gue gak bisa.”

Selama memberikan penjelasan panjang, Axel tidak tau, tangan kiri Jidan sedang terkepal dengan kuat, Axel tidak tahu bahwa Jidan sedang menahan emosinya dengan sekuat tenaga.

✧.* 105.


Mungkin, sudah lebih dari tiga jam sejak Shenna menemani Jidan di tempat ramai ini. Banyak hal yang Shenna sudah lakukan disini, ada beberapa saat juga Shenna menemani Jidan berkeliling untuk menyapa para kolega dari papinya.

Sejujurnya Shenna sedikit lelah, Shenna jarang sekali memakai sepatu high heels selama ini, ditambah lagi yang Ia pakai memiliki tinggi 7 cm yang berarti, itu termasuk kategori high heels yang tinggi.

Shenna merasa sedikit pusing, namun sedari tadi ia berusaha untuk menahannya. Ia tidak ingin mengganggu Jidan yang sedang berbincang dengan beberapa orang dewasa yang ada di tempat itu.

Namun, semakin lama rasa pusingnya semakin tidak mendukungnya untuk bertahan. Shenna berjalan perlahan sambil menahan sakit dibagian kakinya yang sedikit lecet akibat sepatu yang ia pakai, dan menghampiri Jidan.

Jidan awalnya tak sadar bahwa Shenna sedang menghampirinya, sampai tangannya tiba-tiba saja digenggam oleh Shenna.

“Ji.” panggil Shenna.

Jidan menoleh, Ia terkejut, bukan karena kehadiran Shenna, tetapi karena wajah Shenna yang saat ini terlihat sangat pucat. Tangannya reflek menangkup kedua pipi Shenna dan mengusapnya lembut.

“Na, lo pucet banget.”

Shenna terdiam menatap Jidan sayu, membiarkan kedua tangan Jidan menempel di pipinya.

“Ayo duduk dulu.” ucap Jidan sambil menggenggam tangan Shenna, menuntunnya menuju salah satu kursi yang ada disana.

Shenna sedikit merintih saat berjalan, membuat Jidan sadar bahwa ada sesuatu di kaki Shenna. Setelah menuntun Shenna untuk duduk, Jidan berlutut di depan Shenna, “Sini, gua liat dulu, kaki lo kenapa?”

Shenna yang sudah tidak memiliki banyak tenaga hanya menuruti Jidan, membiarkan laki-laki tampan itu membuka sepatunya, dan memperlihatkan bagian belakang dari kakinya sudah lecet.

“Ya ampun, berdarah, Na. Tunggu disini ya, sebentar.”

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Jidan langsung berlari keluar aula hotel tersebut. Ia menuju ke depan lobby dari hotel tersebut, disana merupakan tempat terparkirnya mobil Jidan di area parkir VIP. Dengan cepat ia mengambil adidas slides miliknya yang memang selalu ada di dalam mobilnya. Tak lupa ia mengambil dua buah hansaplast, dan dengan segera ia kembali menuju aula.

Shenna masih duduk terdiam di ruangan besar itu, ia tidak tahu kemana perginya Jidan sekarang sampai akhirnya ia melihat Jidan kembali dengan sebuah sandal bermerk adidas di tangan kanannya.

Jidan kembali menghampiri Shenna, dan sedikit berlutut di depan gadis tersebut. Ia memakaikan hansaplast yang sudah ia bawa ke kedua kaki Shenna, lalu memakaikan slides yang sudah ia bawa juga.

“Pake ini dulu, ya. Nanti di apart gua obatin lagi kaki lo.” Jidan sedikit mendongak, mengambil salah satu tangan Shenna dan mengusapnya dengan lembut. Ia tidak tega melihat gadis di depannya itu terlihat sangat lelah.

Entah inisiatif dari mana, Jidan berbalik membelakangi Shenna dan membuat Shenna terbingung.

“Ngapain?”

“Naik, Ayo pulang. Gua gendong. Jangan bantah, gua tau lo udah gak banyak tenaga.”

Shenna menghela nafasnya, memang benar, jika ia harus berjalan lagi untuk turun menuju mobil mereka, sepertinya Shenna sudah tidak mampu lagi.

Pelan-pelan Shenna naik ke punggung Jidan, dan mengalungkan kedua tangannya di leher Jidan.

Jidan memegang kedua kaki dari gadis itu, dan menggendong Shenna meninggalkan aula tersebut.

Satu hal yang mereka tidak sadari, sejak tadi sangat banyak pasang mata yang memperhatikan aktivitas mereka. Termasuk kedua orang tua Jidan, dan juga Ellie.

“Na, maaf ya.”

✧.* 102.


Dengan berbalut gaun berwarna hitam, ditambah high heels yang juga berwarna hitam, Shenna melangkahkan kakinya menuju lobby yang ada di apartemennya. Gaunnya memang terlihat sederhana, namun justru memberikan kesan elegan saat dikenakan oleh Shenna.

Di depan lobby, sudah terlihat Jidan yang menggunakan jas lengkap dengan arloji berwarna silver di tangannya, sedang menyandarkan tubuhnya di mobil Bmw x6 berwarna hitam itu.

Shenna sedikit terkekeh sambil menggelengkan kepala, melihat Jidan yang memamerkan wajah tampannya itu, ya sebenarnya memang tampan sih.

“Halo, Ibu negara.” sapa Jidan sambil membukakan pintu mobilnya dan mempersilahkan Shenna untuk masuk.

“Gak usah sok keren gitu deh.” ucap Shenna saat memasuki mobil milik Jidan, dan akhirnya disusul oleh Jidan yang juga memasuki mobil tersebut.

“Kalau lo belum tau, gua emang keren.” itu yang terakhir dikatakan Jidan sebelum akhirnya menancapkan gas mobilnya menuju tempat yang akan mereka datangi.


Di salah satu Hotel bintang lima, yang saat ini dijadikan tempat acara papi dari Jidan bersama koleganya sudah terlihat sangat ramai. Saat sampai di tempat tersebut Jidan dan Shenna berjalan beriringan dengan tangan Shenna berada di salah satu lengan milik si tampan itu.

Di tempat itu, Jidan banyak ikut berbincang dengan kolega dari papinya, walau sejujurnya Jidan tidak begitu paham mengenai pembahasan yang mereka bahas. Sedangkan Shenna sedang berada di salah satu meja yang ada disana, menikmati minuman dan beberapa makanan yang sudah disediakan.

Pandangan papi Jidan tiba-tiba saja teralih saat melihat seorang gadis dengan menggunakan gaun putih yang mengekspos bagian punggungnya itu sedang menghampiri Shenna.

“Loh, Jidan, mereka saling kenal?” pertanyaan dari papinya tersebut membuat Jidan mengikuti arah pandang papinya. Disana Ia melihat seorang gadis sedang berbincang dengan Shenna.

Jidan menggelengkan kepalanya, “Gak tau, pi. Emang kenapa?”

“kalau Ellie, kamu tau?”

Kali ini Jidan mengangguk, “Tau.”

“Tadinya papi mau jodohin kamu sama dia, Jidan?”

“Hah! Ellie?” Jidan sedikit terkejut sedangkan papinya hanya menganggukkan kepalanya tanda orang yang dimaksud itu adalah benar.

Di sisi lain, Shenna yang sibuk dengan kegiatannya sedikit terkejut saat seseorang menghampiri, dan menyapanya.

“Halo, lo Shenna kan?”

Shenna tersenyum kikuk lalu berdiri menghadap orang yang menyapanya itu. “Iya, Lo?”

Gadis tersebut tersenyum tipis, Ia memberikan tangan kanannya kepada Shenna sebagai tanda perkenalan untuk mereka. “Gue Ellie. Anak Galenta juga, lo gak tau gue ya?”

Shenna menerima jabatan tangan tersebut dan menggelengkan kepalanya, “Kebetulannya, gue gak hafal semua anak Galenta.”

Ellie terkekeh, “Bener juga. Oh iya, kalau boleh tau, lo beneran pacarnya Jidan?”

Shenna sedikit terkejut dengan pertanyaan mendadak itu, menurut Shenna gadis di depannya ini sedikit aneh. Kan mereka baru saja berkenalan dan malah langsung menanyai hubungannya dengan Jidan.

“Kenapa tiba-tiba nanya gitu?”

Ellie menggeleng, “Gapapa sih. Kalau boleh jujur, tadinya bokap Jidan mau jodohin gue sama Jidan, tapi katanya Jidan punya pacar dan-”

“Halo, lo Ellie kan?”

Belum selesai Ellie menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Jidan datang menghampiri dua gadis yang sedang berbincang itu.

Senyum Ellie langsung terlihat saat melihat sosok Jidan menghampirinya, “Eh iya, halo Jidan.”

Jidan tersenyum tipis, Ia mengajak Ellie berjabat tangan sebagai tanda pertemuan pertama mereka sebagai dua orang yang saling kenal. “Tadi bokap gue yang kasih tau gue, kalo ada lo disini.”

Setelah itu mereka berdua terlihat asyik berbincang, mulai dari membahas tentang kedua orang tua mereka, sampai membahas bagaimana masing-masing dari mereka di Galenta.

Shenna sedikit cemberut, menyadari dirinya seperti tidak diacuhkan keberadaannya. Pandangannya memutar, melihat sekeliling dari aula hotel yang digunakan sebagai tempat acara tersebut.

Ellie sepertinya sadar dengan sikap Shenna, ia sedikit tersenyum kesenangan karena merasa Jidan lebih asik berbincang dengannya. “Oh iya, lo tadi dateng bareng Shenna, ya? Kalian pacaran?”

Pertanyaan tersebut membuat Shenna dan Jidan saling bertatapan satu sama lain, Shenna memilih untuk diam karena menurutnya ia tidak memiliki hak untuk pertanyaan tersebut, lagi-lagi ia memilih untuk memandang ke arah lain.

Shenna lagi-lagi terkejut saat saat tiba-tiba saja Jidan merangkul pinggangnya dengan lembut, membuat kedua tubuh mereka saling menempel satu sama lain. Ia menoleh ke arah Jidan yang sedang tersenyum.

“Iya, Ellie. Dia pacar gue.”

✧.* 087.


Saat ini Jidan dan Shenna sudah sampai di salah satu rumah mewah yang letaknya dapat terbilang jauh dari apartemen tempat mereka berdua tinggali sekarang.

Setelah memasuki pekarangan rumah tersebut, Shenna sedikit terpukau melihat pemandangan rumah Jidan yang terlihat sangat mewah dari luar, dan juga dapat Shenna katakan bahwa rumah ini sangat luas. Mungkin jauh lebih mewah dari rumah milik kedua orang tuanya.

“Wow, ternyata keluarga lo termasuk rich family juga ya.” ucap Shenna tanpa sadar, saking terpukaunya dengan apa yang ada di depan matanya sekarang.

Hal tersebut membuat Jidan hanya menatap Shenna dengan sedikit terkekeh melihat gadis di sampingnya itu.

Cantik. ucap batin Jidan tanpa sadar.

“Ada gak ya, anak Galenta yang bukan dari keluarga kaya?”

Jidan sedikit bingung dengan pertanyaan yang dikeluarkan Shenna, “Ya ada lah, Na. Kita masuk Galenta juga karna tes masuk. Lagian, Galenta kan juga ada beasiswanya.”

“Iya, sih. Tapi kan, anak Galenta itu dominannya kaya.” jawab Shenna.

“Termasuk lo?”

Shenna langsung menoleh ke arah Jidan, dan menggelengkan kepalanya. “Yang kaya bukan gue, tapi bokap nyokap gue.”

“Ya sama aja lah, aneh lo.”

Sedikit perdebatan mereka saat sedang memasuki kediaman milik Jidan, ada saja hal-hal yang menjadi bahan perdebatan mereka.

“Loh, kamu? Nama kamu Shenna Auristella, kan?”

Pertanyaan mendadak tersebut membuat dua orang yang baru saja datang, langsung menoleh ke arah sumber suara. Shenna terkejut ketika namanya di sebutkan dengan lengkap oleh perempuan dewasa yang terlihat mirip dengan Jidan.

Ini, maminya Jidan? batin Shenna.

Shenna menganggukkan kepalanya dengan canggung, lalu sedikit menunduk tanda memberikan hormatnya kepada yang lebih tua. “Iya, tante. Aku Shenna.”

“Loh, mami kok tau Shenna? kan abang belum pernah kasih tau mami pacar abang yang mana?” Jidan sedikit membeku melihat maminya sudah mengetahui Shenna, bahkan dengan nama lengkapnya.

Maminya Jidan langsung tersenyum semangat, Ia menghampiri Shenna dan mengajak Shenna untuk beranjak dari tempatnya. “Yuk, ke ruang makan. Tante itu tau kamu, karena katanya kamu yang dapet nilai tertinggi buat masuk Galenta tahun ini, kan?”

Lagi-lagi Shenna hanya bisa mengangguk canggung, sambil mengikuti arahan maminya Jidan menuju ruang makan yang ada di rumah tersebut. “Iya tante. Kalau boleh tau, kok tante bisa tau aku?”

“Loh, kalau soal itu tante tau dong. Kamu dan Jidan sering jadi bahan perbincangan, kan? Tapi tante nggak nyangka kalau pacar Jidan itu kamu.”

Jidan sendiri hanya mengikuti dua perempuan cantik itu dari belakang. Ia sedikit kikuk, masih tidak menyangka maminya dengan cepat menerima Shenna untuk kenal dengannya.

Setelah sampai di ruang makan tersebut, Jidan mendahului Shenna, Ia menarik sedikit kursi yang ada disana, dan mempersilahkan Shenna untuk duduk di tempat yang sudah Ia sediakan. Shenna tersenyum tipis, hanya dengan gerakan mulut, ia mengucapkan sesuatu kepada jidan. “Tumben.”

“Jadi, kamu pacar anak saya?” tanya papi Jidan dengan nada yang sedikit terdengar seperti seseorang yang sedang mengintrogasi.

“Papi, apasih? Kenapa nanyanya gitu banget.” Jidan menjawab dengan sedikit tidak terima.

“Loh, kan papi cuma nanya abang. Pacarmu cantik. Nak, kok kamu mau sama anak saya?”

Pertanyaan iseng dari papi Jidan itu sontak membuat penghuni ruang makan tersebut tertawa, tak terkecuali Eza, adik satu-satunya Jidan.

“Enak aja.”

“Biasanya tuh, Jidan selalu main sama Jovan, sama Jarvis juga. Jadi saya sedikit nggak percaya waktu dia bilang kalau kamu pacarnya.” jelas papinya Jidan, dan hanya dijawab senyuman oleh Shenna, Ia masih sedikit canggung disini. Apalagi ini pertama kalinya Ia datang ke rumah Jidan, dan langsung dikenalkan oleh kedua orangtuanya.

“Oh, iya. Minggu depan papi ada acara sama kolega papi, acaranya agak besar. Kamu sama Shenna datang, ya?”

“Males, pi.”

“Yaudah papi tanya Shenna saja. Shenna, apa kamu bisa ikut?”

Shenna terdiam sebentar. Jika sudah mendapat pertanyaan seperti ini, mana mungkin Ia bisa menolak. Dapat terlihat dengan jelas, wajah Jidan yang tidak enak dengan Shenna. Mungkin sebenarnya juga Jidan tidak ingin datang, Tapi karena permintaan papinya, mau tak mau, Ia pasti harus datang walaupun tidak bersama Shenna.

Shenna mengangguk, “Iya, bisa kok. Nanti aku temenin Jidan buat dateng ke acaranya.”

✧.* 068.


“Ah elah, gue nggak mau. Tadi gue sengaja bilang lima bulan, biar lo nggak bisa. kok malah diiyain. Ck.” Shenna mengomel saat Jidan baru saja memasuki apartemennya lagi.

Setelah mendapat pesan, Jidan memang langsung bergegas menuju apartemen Shenna lagi, dan membawa satu lembar kertas beserta pulpen berwarna hitam.

“Ngeremehin gua sih, lo. Lima bulan masih bisa lah gua, paling bangkrut dikit.” ucap Jidan saat sampai di ruang tengah milik Shenna.

Shenna menghela nafasnya, Jidan benar-benar tidak sesuai dengan pikirannya. Kenapa ada saja hal random yang Jidan bawa kepadanya. Ia melirik ke arah kertas yang dibawa Jidan, “Ngapain bawa-bawa kertas segala?”

“Oh ini, buat bikin kesepakatan sama lo lah. Sini duduk.” ucap Jidan sambil menepuk bagian sofa yang kosong, yang ada di sampingnya.

“Kalau lo lupa, ini apart gue.”

Jidan terkekeh melihat wajah sinis Shenna yang saat ini duduk di sampingnya itu, ia mulai menuliskan beberapa kata di kertas yang ia bawa. Shenna yang melihat tulisan Jidan pun semakin kesal.

“Bayarin makan gue juga dong.”

“Jangan gila lo. Gua bukan suami lo ya.”

Shenna sedikit terkekeh, Ia juga ikut menuliskan beberapa poin di dalam kertas itu. “Jangan bawa-bawa hubungan ini di luar konteks keluarga lo.”

“Gamau gamau, suka-suka gua.”

“Ck.”

“Udah, lo mau apa lagi?”

Shenna berpikir sebentar, sebenarnya Ia pun tidak tau harus meminta apa lagi. Shenna juga tidak tahu, apakah hal yang akan dia lakukan untuk lima bulan kedepan itu akan menguntungkan untuknya, atau justru sebaliknya.

Ia menggeleng kan kepalanya, “Untuk sekarang, belom ada.”

Jidan mengangguk, “Bagus, gua juga udah bangkrut sih.”

Setelah selesai Jidan memberikan sebuah tanda tangan di bagian bawah kiri dari kertas tersebut, lalu memberikannya kepada Shenna dan memintanya untuk menandatangani di bagian yang masih kosong.

“Udah.”

“Pinjem hp lo dong.”

“Buat apa lagi?”

Jidan tidak menjawab, Ia malah langsung mengambil hp Shenna yang ada di meja, “Passwordnya apa?”

“Buat apa, sih, Jidan?”

“Gak buat yang aneh-aneh kok, cepet passwordnya apa?”

“0366”

“empat digit doang?” tanya Jidan dengan jarinya langsung menekan tombol angka sesuai dengan yang diucapkan oleh Shenna.

“Hm.”

“Oh, bisa.”

Setelah berhasil membuka hp milik Shenna, ia segera menuju aplikasi kamera, mengambil sebuah foto selfie, hal tersebut membuat Shenna langsung menatap aneh ke arah Jidan.

“Narsis, ngapain sih lo?”

Jidan tidak menjawab, ia sedang asik berkelana di dalam hp Shenna. Setelah selesai dengan urusannya, ia langsung mengembalikan hp tersebut kepada pemiliknya.

Shenna mengambil hpnya, ia membulatkan matanya saat melihat dengan seksama ada wajah Jidan terlihat jelas di layar lockscreen hpnya.

“Lo apain hp gue!”

“Biar kayak pacaran beneran, hp gue juga lockscreennya foto lo kok.” jawab Jidan sambil menunjukkan layar hp nya, disana juga terlihat jelas foto Shenna yang menggunakan jaket hitam, mungkin itu saat Shenna sedang memakai jaket milik Jidan.

“Heh! Itu foto dari mana? Kok gue gak tau. Sumpah, Ji. Lo serem banget. Hapus gak!”

“Gak mau. Udah gua mau balik. Bye, pacar.”

“Jidan! Lo beneran ga waras!”

✧.* 035.


Setelah mendapat kiriman foto seekor anak anjing, Shenna yang sedikit terkejut itu langsung bergegas menuju pintu apartemennya.

Selama ia melangkahkan kakinya, tak henti-hentinya Shenna menyebut nama Jidan, menyiapkan ancang-ancang jika lelaki tersebut berbohong padanya.

“Heh! Ini beneran anak anjing Jidan, lo nyulik dari mana?”

Shenna terkejut dengan pemandangan di depannya saat ini, pasalnya Jidan benar-benar sedang menggendong anak anjing kecil berwarna putih yang sudah sempat Shenna lihat di foto tadi.

“Enak aja nyulik. Nih, pegang dulu.” jawab Jidan tidak terima, sambil memberikan anak anjing tersebut kepada Shenna, agar Shenna yang menggendongnya.

“Eh, terus? Atau lo emang punya?”

Jidan menggeleng, “Enggak, tadi di jalan gua nggak sengaja liat Petshop. Gua inget lo sering maki-maki gua 'anjing', jadi sekalian aja gua beli anjing beneran.”

“Nggak ada hubungannya?”

“Ada, gua yang hubungin.”

“Gak jelas. Jadi ini maksudnya, anjingnya buat gue?”

Jidan terkekeh mendengar pertanyaan dari Shenna, ditambah dengan wajah polosnya itu. “Mau banget lo, gua beliin anjing?”

Mendengar jawaban dari Jidan membuat Shenna memutar matanya, memang tidak seharusnya ia mengharapkan hal tersebut dari Jidan.

Belum sempat Shenna menjawab lagi, tiba-tiba saja Jidan langsung melangkahkan kakinya, dan masuk ke dalam apartemen Shenna tanpa mengucapkan apapun, bahkan permisi pun tidak.

“Heh! Asal masuk aja, emang gue bolehin lo masuk?” Shenna sedikit berteriak sambil mengikuti langkah kaki Jidan yang bergerak dengan santainya menuju ruang tengah, lalu duduk di salah satu sofa yang ada di tempat itu.

Shenna menghela nafasnya, lagi-lagi ia harus sangat sabar menghadapi Jidan.

“Apart lo rapi juga ya ternyata.”

Shenna ikut mendudukkan dirinya di sofa, sambil menaruh anak anjing tersebut di pangkuannya. “Ya iya lah, kenapa? Apart lo pasti berantakan.”

“Sok tau.”

“Berarti gue bener.”

“Yaudah, kalo gitu, bantu rapiin.” ucap Jidan dengan santainya.

“Ogah.”

Jidan terkekeh, kali ini tatapannya teralih pada anak anjing yang saat ini ada di pangkuan Shenna. Jidan tersenyum tipis melihat bagaimana Shenna dengan lembut mengelus anak anjing tersebut.

“Itu, anak anjingnya belom gue kasih nama.”

“Yaudah, namain dong.”

“Apa ya? Nama yang cakep gitu. Biar keren, kayak gue.”

“Gue tau.”

“Apa? Sampe lo sebut ji-”

Belum sempat Jidan menyelesaikan kalimatnya, Shenna dengan cepat mencelah. “Jidan.”

“Gua udah tau isi otak lo, dasar. Masa nama gua disamain sama anjing.”

“Eh, jangan deh. Dia lucu, lo enggak. Apa ya, Oreo?”

Mainstream banget, lagian dia putih polos.”

“Apa hubungannya?”

“Oreo kan hitam putih.”

Shenna mengangguk, “Iya juga, sih.”

“Gue tau.”

“Apa? Perasaan gue gak enak nih.”

“Shenji.”

“Kan.” jawab Shenna dengan wajah datarnya, berbanding terbalik dengan Jidan yang terlihat bersemangat menyebut nama tersebut.

“Shenna Jidan, hahaha. Lucu banget dah.”

“Gak jelas lo, jelek banget, masa namanya shenji.”

“Ya itu bagus, dari pada gua ambil dari huruf belakang, nanti jadinya 'dana', jadi aplikasi itu mah.”

Jidan tertawa renyah, sedangkan Shenna hanya menggelengkan kepalanya. “Jayus, lo!”

“Berarti fix, shenji aja.”

“Gak kreatif banget. Lagian kan, ini anjing lo, ngapain nama gue ikutan juga?”

“Suka-suka gua dong?”

“Ck, capek gue ngomong sama lo.”

“Nanti gua bakal sering nitipin dia ke lo, ya?”

“Ngerepotin.”

“Jahat banget omongan lo? Kasian shenji. Huhu, maaf ya shenji, ini cewek emang suka nyakitin omongannya.” ucap Jidan dengan wajah sok sedihnya sambil ikut mengusap anak anjing yang ada di pangkuan Shenna.

“Gak usah dramatis, bisa nggak?”

334.

Setelah menyelesaikan kegiatannya, sekaligus merapikan seluruh properti yang sudah digunakan oleh Bintang dan teman satu kelasnya. Bintang menuju keluar sekolah untuk menghampiri Candy, sekaligus mengajaknya pulang.

Banyak barang-barang yang harus dibawa di bagasi mobilnya, karena memang properti tersebut memang milik Bintang dan dipinjam oleh kelasnya untuk keperluan penampilan mereka.

Candy langsung masuk ke dalam mobil milik Bintang, setelah mengobrol dengan beberapa temannya disana.

“Udah selesai jajannya?”

Candy mengangguk, “Aku cuma beli oreo cheese cake tadi disitu.”

“Kamu laper, gak?” tanya Bintang saat di perjalanan.

“Sebenarnya belum terlalu sih, tapi dari pada nanti keluar lagi buat cari makan, mending sekalian beli aja, kak.”

“Mau apa?”

Mcd aja, hehehe.”

Okay, drive thru aja, ya.” ucap Bintang dijawab anggukan oleh Candy.

Bintang dan Candy membeli beberapa makanan untuk mereka, sekaligus untuk orang-orang yang ada di rumah bintang. Kebetulan bunda dan ayahnya sudah pulang dari luar kota. Tak lupa pula Candy membeli es krim kesukaannya disitu.

Sesampainya di rumah Bintang, ia menyuruh Candy untuk membawa makanan yang sebelumnya mereka beli ke dalam rumahnya.

“Nih, kamu duluan aja, ya. Yang buat orang rumah, taruh di meja makan aja, sisanya bawa ke kamar aku.”

“Loh, emang kamu mau kemana?”

“Aku mau naruh properti dulu di gudang.”

“Aku bantu, ya?”

Bintang menggeleng, ia mendorong gadisnya pelan, agar segera masuk ke dalam rumah. “Enggak, udah sana masuk aja duluan.”

Mau tak mau Candy menuruti permintaan Bintang. Di dalam rumah bintang, ia bertemu dengan bundanya. Saling berbincang sebentar sekaligus, melepas rindu karna sudah lama tidak bertemu, sebelumnya akhirnya Candy meminta izin kepada bunda untuk masuk ke kamar Bintang.

Kamar rapi, dan wangi khas Bintang, tidak berubah. Candy masuk ke dalam dengan senyum bahagianya. Ia menaruh makanan di meja yang ada di kamar Bintang, sekaligus merapikan barang lain yang ia bawa sendiri.

Saat sampai di meja belajar Bintang, fokus Candy teralih.

Ia melihat sebuah buku berwarna coklat, bertuliskan Sweet Like Candy.

Candy merenyit bingung, rasa penasarannya membuat ia mendekat ke buku tersebut dan membukanya.

Siapa sangka, ternyata buku tersebut merupakan buku yang berisi semua hal tentang Candy. Candy membuka halaman demi halaman dari buku tersebut. halaman awal terlihat satu foto pertama Candy saat masuk SMA yang pernah Candy posting di akun instagramnya, namun ia sudah menghapusnya.

“Foto ini? Bukannya gue udah lama hapus dari instagram gue?”

Candy melanjutkan ke halaman lain, disana banyak foto selama ia bersama Bintang ditambah dengan notes di setiap halamannya.

Senyum Candy semakin terlihat setelah melihat setiap halaman yang ada di buku itu, ia hanya tidak menyangka Bintang akan membuat hal hal seperti ini.

“Ndy, ngapain? Eh? YAH LUPA BILANG KE BUNDA BUAT SIMPEN BUKUNYA!”


Saat ini Bintang dan Candy sudah duduk dengan posisi saling berhadapan satu sama lain. Candy hanya terkekeh melihat wajah malu Bintang, seperti sedang tertangkap basah karena melakukan sesuatu. Ya, sebenarnya memang benar sih.

“Jadi? Ini apa?”

Candy bertanya sambil menunjukkan buku coklat yang ia temukan tadi.

“Ya, kan, kamu udah liat.”

“Bener juga.”

“Udah, Ndy. Gak usah dibahas. Malu ah.” Bintang merengek untuk menutupi malunya, membuat Candy lagi-lagi tertawa.

Satu kalimat tiba-tiba terlintas di pikirannya, “Kalau waktu itu, kita gak di satu ruang ujian yang sama, kira-kira kita berdua bakal kayak sekarang gak, ya?”

“Pikiran kamu aneh, Ndy.”

“Kok aneh?”

“Yam ngapain mikirin itu. Kan yang penting sekarang kita berdua udah kayak gini. Aku punya kamu, kamu punya aku.”

Mendengar kalimat tersebut membuat pipi candy merona seketika, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tentu saja Bintang menyadari hal itu. Ia mendekat kearah Candy, menarik gadisnya ke dalam pelukan sambil mengusap pelan rambut dari gadisnya itu.

“Ndy, aku gak tau apa yang akan terjadi antara kamu, aku, atau bahkan kita kedepannya. Tapi aku minta satu hal, tetep sama aku, ya, ndy? Lewatin semuanya sama aku.”

“Tetep disini, ya? Jangan kepikiran buat pergi. Aku butuh kamu, dan aku maunya kamu.”

330.

Hari ini, hari dimana akhirnya kelas 12 melaksanakan ujian praktik seni budaya setelah persiapan sebulan penuh.

Candy sudah berada di sekolah sejak jam 8 pagi. Hari ini sekolah memang sengaja diliburkan, namun keadaan tetap ramai, mulai dari angkatan kelas akhir yang datang untuk penampilan hari ini, hingga banyak adik kelas yang memutuskan untuk datang hanya untuk melihat penampilan kakak kelasnya.

Di samping Candy sudah ada Vanya. Sahabatnya itu menemani Candy sekaligus hari ini anggota osis diminta untuk tetap mengawasi kegiatan hari ini sampai selesai.

“Ndy, cowo lo pake kostum petugas keamanan bukan sih?” tanya Vanya setelah mengikuti arah pandang Candy dan menemukan Bintang yang menjadi objek dari sahabatnya.

“Iya, tapi gue gak terlalu paham juga mereka drama tentang apa.”

Candy menjawab dengan pandangannya masih fokus ke arah Bintang dengan tersenyum, “Tapi dia luc, Nya.”

Vanya menatap sinis ke arah sahabatnya, memang mau bagaimanapun kalau orang sedang jatuh cinta pasti terlihat aneh.

Penampilan nomor dua atau dari 12 IPA 1 sudah selesai. Disana terlihat kelas Bintang mulai menyiapkan propertinya di lapangan.

Candy semakin antusias melihat ke arah lapangan dari salah satu sisi koridor yang ada di sekolahnya.

Suara dialog mulai terdengar, para penonton terlihat sangat fokus pula memperhatikan penampilan kali ini.

Seketika candy tertawa kencang melihat adegan dimana Bintang berlari saat ada adegan sedang mengejar seorang pencuri. Tidak hanya Candy, para penonton di pinggir lapangan pun banyak tertawa selama penampilan drama mereka kali ini.

Hingga saat drama mereka selesai, penonton mulai bertepuk tangan, namun ternyata penampilannya belum selesai.

Suara lagu terdengar, terlihat bintang dan teman sekelasnya mulai meminggirkan properti dan berkumpul menjadi satu di tengah lapangan.

Candy tak henti-hentinya bertepuk tangan melihat mereka semua menari bersama sama di tengah lapangan.

Hingga lagu terakhir mulai terdengar, melompat lebih tinggi – Sheila On 7

Bersama kita bagai hutan dan hujan

Aku ada karna engkau telah tercipta

Ah

Kupetik bintang untuk kau simpan

Pada saat lirik itu terdengar, terlihat teman-teman satu kelas Bintang berhenti bergerak dan semua menunjuk ke arah Bintang, di bagian tengah di antara mereka, Bintang menjadi pusat dan berpose saat ia ditunjuk itu.

Terdengar riuh tepuk tangan dari seisi lapangan, termasuk Candy.

“Pacar gue gemes banget, astaga.”

324.

Bintang bergegas menuju ke rumah Candy. Sesampainya ia disana, ia segera meminta izin kepada mamanya Candy untuk menuju ke kamarnya.

Di depan kamar Candy, Bintang terdiam sejenak. Mengambil nafas sekaligus keberanian. Seminggu sudah, ia tidak bertemu dengan gadisnya itu. Ia paham betul, Candy hanya sedang ingin sendiri. Candy hanya sedang berusaha menyembuhkan dirinya, setelah apa yang dia sudah alami saat bertemu papanya itu.

Tok tok tok

“Ndy, ini aku. Aku masuk, ya?”

Bintang mengetuk pintu kamarnya, sekaligus meminta izin untuk masuk kedalam kamar gadisnya. Tak ada jawaban apapun, sehingga Bintang memberanikan dirinya, untuk masuk ke dalam ruangan tersebut.

Kamar bernuansa putih dan pink pastel itu, ia melihat gadisnya sedang tertidur di kamarnya, dengan selimut menutupi dirinya. Entah Candy benar-benar sedang tidur atau tidak, Bintang pun tak tahu.

Bintang duduk di pinggir kasur tersebut, mengusap pelan rambut dari gadis kesayangannya itu dan tersenyum tipis.

Ya Tuhan, rindu sekali ia dengan gadisnya ini.

Mungkin, karena merasakan usapan di kepalanya, Candy langsung menoleh kearah kanannya. Ia sedikit terkejut mendapati Bintang sudah ada di sampingnya. Namun, tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.

Candy bangun, dan duduk menghadap ke arah Bintang. Mereka saling bertatapan satu sama lain, seperti sedang mengungkapkan seluruh isi hati, namun hanya terucap didalam hati masing-masing dari mereka.

“Maaf.”

Akhirnya satu kata itu berhasil keluar, bukan Candy yang mengucapkan, melainkan Bintang.

Bintang mengambil satu tangan Candy, mengusapnya pelan sembari menundukkan kepalanya.

“Maafin aku buat hari itu. Maaf, aku gak ada dihari kamu kacau. Maafin aku, harusnya aku bisa bantu kamu buat nenangin kamu saat itu. Maafin aku.” ucap Bintang dengan penuh penyesalan, mengingat bagaimana ia tidak bisa berada di samping Candy pada hari itu.

Bukannya menjawab, Candy dengan segera memajukan badannya dan langsung memeluk Bintang, membiarkan kepalanya ditopang oleh bahu lebar Bintang.

“Kak, kangen.”

Candy memeluk bintang dengan erat, menyalurkan segala rindunya setelah bertemu selama beberapa hari ini. Tidak hanya Bintang, Candy pun rindu sekali dengan kekasihnya itu.

Bintang awalnya sedikit terkejut dengan gerakan dari gadisnya itu. Namun, sedetik kemudian ia langsung menampilkan senyumnya dan membalas pelukan Candy dengan erat.

“Aku juga, kangen banget. Maaf kalau kedengaran lebay, tapi serius aku bener-bener kangen.”

Mendengar ucapan Bintang membuat Candy sedikit terkekeh.

Setelah beberapa menit mereka saling berpelukan tanpa berbicara, Candy melonggarkan pelukannya, begitu pula dengan Bintang. Hanya saja tangan Bintang masih melingkar di pinggang Candy.

“Maaf ya kak, maaf udah bikin kamu khawatir. Maaf hilang tiba-tiba. Maaf, karena aku, kita jadi nggak bisa ketemu seminggu ini.”

Bintang menggeleng, “No. Udah, ya? Aku gapapa. Dan aku sekarang udah tenang liat kamu membaik.”

Bintang mengusap pipi Candy dengan lembut, dan menatap gadisnya dengan dalam.

“Ndy, jangan kaya gini lagi, ya? Buat kamu dan juga aku. Aku disini, Ndy. Aku ada buat kamu. Bilang ke aku setiap kamu butuh aku, dalam keadaan apapun kalau aku tau itu penting buat kamu, aku akan lakuin sebisa aku.”

308.

Setelah mendengar kabar, kalau Candy sudah berada di rumahnya, Bintang langsung menancapkan kembali gas nya, membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah Candy. Pikirannya benar-benar berantakan sekarang, rasa bersalah sangat menumpuk di kepalanya.

Apa Candy baik-baik saja, apa yang sebenarnya terjadi dengan Candy. Harusnya ia dapat memeluk Candy saat ini. Harusnya saat ini, dialah yang bersama Candy. Dan masih banyak lagi pikiran Bintang yang saling bertabrakan satu sama lain.

Bintang sampai di rumah Candy, ia mendapati mamanya Candy atau orang yang biasanya ia panggil mama juga itu terduduk di ruang tamu dengan wajah yang terlihat sendu.

“Mah, Candy.”

Mendengar suara tersebut, orang yang dimaksud itu menoleh ke arah sumber suara. Ia mendapati sosok Bintang sedang berjalan mendekatinya.

Bintang duduk disamping mamanya Candy, ia dapat melihat mamanya Candy berusaha menampilkan sebuah senyuman kepadanya.

“Ma, maafin Bintang. Maaf, bintang gak bisa jaga Candy dengan baik. Bintang yang salah, Ma. Harusnya sekarang Bintang bisa tenangin Candy, maaf Bintang malah-”

“Bintang, cukup. Bukan salah kamu, Nak. Mama juga gak tau kalau Candy hari ini bertemu dengan papanya.”

Mamanya Candy menepuk-nepuk bahu Bintang pelan, mencoba menyalurkan ketenangan, walaupun ia sendiri tau kalau ia pun sedang sedih melihat putri kesayangannya saat ini.

“Bintang boleh ketemu Candy?”

Seketika senyum mamanya Candy pudar, “Tadi mama sudah coba, tapi tidak berhasil. Silahkan, kalau kamu mau coba, Bintang. Dia ada di kamarnya.”

Setelah mendapat izin, Bintang langsung bergegas menuju ke lantai dua dari rumah Candy, menuju kamar Candy. Dapat Bintang lihat dengan jelas, saat ini kamar Candy tertutup dengan rapat.

Bintang semakin mendekat, dan semakin terdengar pula suara tangis dari Candy.

“Ndy.” ucap Bintang lirih, saat berada tepat di depan kamar milik gadisnya yang saat ini sedang runtuh itu.

“Ndy, maaf.”

Bahkan untuk berusaha membuka pintu kamar Candy pun, Bintang tidak mampu sekarang. Ia terduduk di depan kamar Candy, mengacak-acak rambutnya, sambil memaki dirinya sendiri, di dalam batinnya.

Harusnya Bintang ada disamping Candy sekarang.

Harusnya Bintang ada di pelukan Candy sambil memberikan ketenangan untuk gadisnya sekarang.